Sabtu, 26 November 2011

Bumi

“Saya hanya mengajarkan hal-hal yang sederhana saja pada anak-anak. Seperti saya beritahu ke anak-anak tentang satu kantong plastik butuh waktu ribuan tahun untuk hancur. Jadi kita harus memanfaatkan plastik itu seoptimal mungkin. Misalnya kalau mereka mendapatkan plastik, plastik itu harus di simpan, kita gunakan untuk keperluan lainnya.” Demikian penuturan Nungki, ibu beranak dua ini.
Kendati negara seringkali mengabaikan keterlibatan perempuan dalam mengelola alam sebagai mitra sejajar, tidak membuat Nungki acuh terhadap lingkungan sekitarnya. Ia bersama keluarganya mengawali aksi peduli terhadap bumi dan lingkungan dengan membiasakan diri menghemat pemanfaatkan kebutuhan seperti kantong plastik, air, listrik, kertas, elpiji dan sebagainya. Nungki dan keluarganya sadar betul apa yang kini tengah diderita bumi.
Nungki dan keluarganya tinggal di sekitar Jakarta Utara. Rumahnya tidak begitu besar. Namun pemandangan bersih dan nyaman membuat siapa pun betah bertandang ke sana. Di samping rumahnya nampak beberapa permainan anak-anak yang terbuat dari bahan-bahan sisa renovasi rumah. Jungkat-jungkit dari kayu, dan ayunan yang diikat dengan menggunakan tali tambang. Bahkan udara bersih pun tak segan meniupkan aromanya melalui pohon besar yang berdiri kokoh seolah menjaga keseimbangan rumah tersebut.  
Coba kita runut ke belakang apa yang sebenarnya melukai bumi. Melihat dan mengamati kembali sejarah revolusi hijau yang konon bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Bahkan pembangunan bendungan irigasi yang konon juga bermanfaat bagi para petani, kenyataannya justru sebaliknya. Tanah semakin menjauh dari plasma nutfah dan sumber mata air yang sejatinya dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan semakin menyempit bahkan berkurang.
Selain itu pilihan konsep pembangunan dengan kriteria ekonomi-kebutuhan, produktivitas dan pertumbuhan yang merupakan pembangunan ala Barat turut mewarnai musnahnya keberagaman makhluk di planet ini. Pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat tidak pernah mengenal dan memahami sejauh mana keanekaragaman “makhluknya” akan bertahan. Atau penilaian negara tentang “bola raksasa” ini adalah suatu benda yang tidak bermuatan? Sehingga negara berhak berbuat dan memperkosa tanpa mengindahkan hak-haknya.
Hal itu menggambarkan maskulinitas pemerintah dalam mengeruk “perut bumi.” Dengan penggantian pupuk yang semula adalah kompos dengan pupuk berbahan kimia dan sebagainya justru mengakibatkan terganggunya daur ulang ekologis. Misalnya begini, hampir di seluruh daerah di Indonesia masih menetapkan bahwa pekerjaan memberi makan ternak adalah pekerjaan perempuan. Lalu perempuan pergi memotong rumput sebagai pakan ternaknya. Kemudian ampas makanan ternak yang berupa kotoran dapat digunakan sebagai kompos. Daur ulang inilah yang kemudian tergangggu. Hal itu berakibat pada hilangnya komponen rantai makanan  dalam ekosistem yang berperan sangat besar bagi bumi dan penghuninya.
Lebih parah lagi negara tidak sungkan-sungkan memperlakukan bumi sebagai the others, sebagai yang lain. Bahwa bumi dan kekayaannya adalah sesuatu yang memang layak di eksploitasi tanpa harus didengar dan dilibatkan posisinya dalam rantai makanan keberadaan makhluk hidup, penghuni bumi. Dari sinilah negara berhasil menciptakan penjara kemiskinan, pembodohan dan penindasan masyarakat, khususnya bagi perempuan.
Luka Bumi dan Perempuan
Luka bumi berakibat pada luka perempuan. Artinya perempuan dan bumi saling tergantung satu sama lain. Apa yang sudah dilakukan Nungki dan keluarganya adalah bentuk ketergantungan tersebut. Mengutip puisi Sutardji “Tertusuk padamu berdarah padaku,” seperti itulah yang dirasakan Nungki bahkan perempuan lain atas derita dan luka bumi. Meskipun hal itu menurut Nungki bukan suatu hal istimewa, namun kesadaran dan penghargaan terhadap bumi serta kenekaragamannya merupakan pelajaran penting bersama tentang sejauh mana peranan perempuan dalam menjaga keseimbangan bumi dan lingkungan.
Apalagi yang dilakukan Nungki untuk mengurangi “beban bumi”? “Buku-buku tulis anak saya, kalau masih ada sisa halamannya walaupun dibaliknya sudah terisi, di belakangnya kan masih bersih. Itu di kumpulin terus kemudian di streples, dijadikan buku. Itu dipakai untuk membuat catatan. Sebenarnya dulu saya buatkan cukup banyak, dengan sampul buku yang lama bisa diisi 40 lembar, 60 lembar. Kan lumayan,” ujar Nungki.
Sikap guru di sekolah putri pertamanya menuntut ilmu malah mengejek hasil daur ulang tersebut. “Ketika buku steplesan itu dibawa sama anak saya ke sekolah, gurunya malah bilang begini, Lia, memang orang tua kamu nggak mampu apa beliin buku, kok bukunya model steplesan,” kata Nungki menirukan.  Lihatlah! Guru yang kabarnya harus digugu dan ditiru- dipatuhi dan diikuti, justru jauh dari makna tadi.
Apa Yang Terjadi di Bumi
Akhir-akhir ini kita seringkali mengeluhkan kondisi cuaca yang kian tidak menentu. Demikian juga musibah demi musibah terus mengancam negeri ini. Banjir, kekeringan, badai dan longsor pun semakin akrab dengan planet “Bimasakti”. Apalagi harga minyak tanah yang kian meroket dan dikawal dengan kenaikan harga kebutuhan lain. Apa sebenarnya yang tengah menimpa  bumi, “rumah” kita? Apakah si “Bimasakti” telah kehilangan kesaktiannya?
Namun kebanyakan kita masih melihat kejadian-kejadian tersebut akibat umur bumi yang semakin menua. Sebagian yang lain pun menilai jika musibah yang melanda negeri ini sebagai azab Sang Kuasa atas kelalaian “penghuni bumi” yang sudah tidak bermoral lagi, terutama perempuan. Benarkah demikian?
Meskipun tidak memperoleh hasil yang mendalam, perbincangan satu jam bersama Nungki sanggup menyingkap tradisi patriarki bangsa ini. Salah satunya adalah persoalan bumi dan lingkungan yang selalu diremehkan bahkan direndahkan dan berujung pada luka bagi perempuan. Bumi dan perempuan laksana saudara kembar yang layak direduksi, ditata agar bermoral sesuai kemauan penguasa. Bahkan bumi dan perempuan seolah tidak berhak menikmati keelokannya dan dilarang menyerukan apa yang sebenarnya menusuk dan melukai keberadaanya. Pemerintah lupa bahwa bumi, manusia, dan penyangganya adalah pasangan sejajar pengisi planet bernama bumi yang saling menguntungkan tanpa menghilangkan keberadaan masing-masing. Selamat Hari Bumi!