Senin, 06 Februari 2012


Prolog 
Dari negara yang dijuluki Macan Asia, Indonesia masuk menjadi negara yang bisa dijuluki Tikus Asia karena dulu sebagai macan ditakuti oleh negara-negara pesaingnya bahkan negara adidaya, sementara sekarang sebagai tikus dihidupi oleh sisa sisa konsumsi negara-negara pesaingnya dan negara adidaya. Daging yang dikonsumsi sang macan maupun sisa-sisa yang dikonsumsi si tikus tersebut dikemas dalam bentuk pinjaman riba yang tentu saja pada dasarnya memperburuk kondisi Indonesia itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang bersih (halalan thayyiban) yang menjadi sumber makanan sang macan ataupun si tikus untuk tumbuh berkembang dengan baik.

Firman Allah dalam Kitab Suci Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 275-276; 278-279 menyatakan:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan karena mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambil dahulu (sebelum datang larangan); dan urusan (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Marshall Plan Vs Pinjaman Riba
Amerika Serikat membantu Eropa Barat setelah Perang Dunia II melalui Marshall Plan-nya, yang mana Eropa Barat membayar bantuan Amerika Serikat tersebut dengan barang-barang kebutuhan Amerika Serikat selama beberapa tahun. Apa yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Eropa Barat pada saat itu sangat bisa dikategorikan sebagai pembiayaan As-Salam (In-Front Payment Sale), di mana bantuan tersebut adalah jual beli dibayar di depan antara Amerika Serikat dan Eropa Barat atas barang-barang yang menjadi kebutuhan Amerika Serikat selama beberapa tahun. Marshall Plan telah membuat Eropa Barat bergiat dalam kegiatan ekspor barang-barang ke Amerika Serikat, dan Amerika Serikat bisa berkonsentrasi dalam pembuatan barang-barang kebutuhannya yang lain secara lebih spesifik.

Ketika masih menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia belasan tahun yang lewat, penulis ingat bahwa cerita mengenai Marshall Plan ini digembar-gemborkan oleh beberapa tokoh pengambil keputusan ekonomi Indonesia yang biasa disebut “Berkeley Mafia”. Cerita Marshall Plan ini menjadi justifikasi pemerintah Indonesia di masa itu untuk meminjam terus menerus dari negara-negara barat (direpresentasikan oleh IGGI – Inter Governmental Group on Indonesia) yang katanya hanya dikenakan “bunga lunak” demi pembangunan di Indonesia. Hal seperti ini terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia sekarang ini melalui CGI (Consultative Group on Indonesia), World Bank, IMF (International Monetary Fund), dan sebagainya. Marshall Plan yang dilakukan Amerika Serikat atas Eropa Barat jelas-jelas berbeda dengan pinjaman bunga-berbunga yang dilakukan negara-negara barat atas Indonesia. Marshall Plan mempunyai substansi As-Salam sebagai salah satu bagian dari Islamic Based Economy, sementara pinjaman-pinjaman bunga berbunga adalah sangat ditentang dalam Islamic Based Economy.

Eropa Barat dapat terus tumbuh setelah menerima bantuan Amerika Serikat melalui Marshall Plan. Sementara dalam kenyataannya, pinjaman-pinjaman riba yang dikemas dengan nama bantuan luar negeri sempat membuat Indonesia disinyalir mempunyai pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut sangat rentan dan dapat dengan mudah dihancurkan karena sistem ekonomi dan keuangannya tidak mandiri dan sangat bergantung dengan negara-negara barat. Pada masa sekarang ini, kita melihat bahwa sistem ekonomi dan keuangan yang tidak mandiri ini membuat Indonesia sangat bisa didikte oleh negara-negara barat. Pendiktean tersebut tidak hanya dalam hal ekonomi dan keuangan, namun juga dalam hal politik dan pemerintahan.

Islamic Based Economy
Islamic Based Economy (IBE) mengintisarikan bahwa riba dilarang, jual beli dan profit / revenue sharing yang didasari oleh risk sharing (muqaradhah / mudharabah) dan kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan sendiri adalah halal dan diberkati.

Firman Allah SWT & Hadits Rasulullah Muhammad SAW menyatakan: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S.: Al Baqarah:275). Dari Suhaib Ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (H.R. Ibnu Majah).

Ekonomi riba yang mendasari ekonomi Indonesia selama ini, telah menjadikan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi biaya tinggi. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika Indonesia mengaplikasikan Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW dalam ekonominya. Pembahasan dengan grafik-grafik berikut ini memperjelas bagaimana profit / revenue sharing dalam IBE menghasilkan economies of scale yang lebih baik dibandingkan ekonomi konvensional yang riba dalam skala mikro.

Profit / revenue sharing apabila diterapkan dalam skala ekonomi makro akan sangat mendorong efektivitas dan efisiensi ekonomi dalam negeri. Efektivitas dan efisiensi ekonomi dalam negeri akan meningkatkan transaksi perdagangan barang dan jasa dalam negeri. Peningkatan transaksi perdagangan barang dan jasa dalam negeri akan menghasilkan kemandirian dalam ekonomi.

Kemandirian Ekonomi
Self-sufficient economy atau ekonomi mandiri harus menjadi tujuan utama negara dalam kiprahnya menjamin eksistensi bangsa. Kemandirian ekonomi bukan berarti menarik diri dari perdagangan, jasa dan ekonomi internasional. Namun kiprah dalam perdagangan, jasa dan ekonomi internasional itu dilakukan semata-mata karena ada kekurangan-kekurangan dalam perdagangan, jasa dan ekonomi yang benar-benar tidak dapat dipenuhi di dalam negeri; bukan karena dikondisikan oleh satu dan lain hal untuk tidak dapat dipenuhi (misalkan karena kolusi, korupsi dan nepotisme).

Dalam sidang CGI beberapa tahun yang lewat, wacana Indonesia dimasukkan ke dalam kategori less developed country pernah mencuat untuk mendapatkan potongan hutang luar negeri sampai 80% dari outstandingnya. Hal ini memang dimungkinkan, melihat dari pengalaman beberapa negara Amerika Latin (salah satunya Brazil). Indonesia tidak cukup berani untuk membawa dan merealisasikan wacana tersebut ke dunia internasional, dengan alasan bahwa Indonesia masih cukup mampu membayar hutang-hutangnya dan Indonesia tidak ingin kehilangan investor-investor asing yang sudah ada dan yang potensial masuk ke Indonesia. Padahal investor riil jumlahnya lebih sedikit dari pada lender riba yang sudah ada dan yang potensial untuk masuk. Dengan alasan yang masih sama, Indonesia terus menerus berusaha meminjam dari IMF yang dikuasai negara-negara barat. Indonesia terus-menerus melakukan kebijakan riba untuk keluar dari masalah ekonomi yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat riba.

Sudah saatnya kita mencoba keluar dari lingkaran setan ini dengan melakukan taubat nasuha. Hentikan mengusahakan pinjaman riba dari negara-negara barat. Jalin hubungan lebih baik lagi atas negara-negara potensial yang mempunyai ikatan kuat dalam spiritual Islam dengan sebagian besar penduduk Indonesia. Ajak mereka untuk menjadi investor riil di Indonesia melalui hal-hal yang diintisarikan dalam IBE dengan cara mengaplikasikan IBE dalam perekonomian kita.

Penutup
Tidak berlebihan rasanya jika dikatakan penerapan IBE akan terus bergulir, mengingat banyak daerah yang menuntut diberikan otonomi untuk menjalankan kebijakan di daerahnya sesuai dengan syariat Islam. Islamic Based Economy – IBE adalah aplikasi syariat Islam dalam perekonomian. Konsep IBE ini dimunculkan sebagai upaya kontribusi terhadap pengembangan perekonomian Indonesia yang lebih sesuai dengan syariah, yaitu keterkaitan yang erat antara sektor keuangan dengan sektor riil dan tanpa riba. Insya Allah, ijtihad ini dapat berhasil guna bagi pihak-pihak yang menerapkannya.

Muhammad Gunawan Yasni, MM, CIFA (pengembang produk keuangan syariah di PT Bahana Artha Ventura)