Senin, 11 Juni 2012

FILOSOFI DASAR EKONOMI ISLAM


BAB 1

FILOSOFI DASAR EKONOMI ISLAM


A.             Pendahuluan
Sistem ekonomi dunia yang saat ini bersifat sekuler -dimana terjadi dikotomi antara agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi- telah mulai terkikis. Terjadinya dikotomi ini terjadi pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, dimana pada masa tersebut kekuasaan gereja Katolik sangat dominan. Sehingga hal ini menimbulkan pergerakan yang berupaya untuk mengikis kekuasaan gereja yang terlalu besar pada masa itu. Pergerakan inilah yang pada akhirnya memunculkan suatu aliran pemikiran bahwa harus terjadi suatu pembedaan atau pembatasan antara aktivitas agama dengan aktivitas dunia, sebab munculnya pemikiran keilmuan seringkali dianggap bertentangan dengan doktrin gereja pada masa itu.
Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak mengenal pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi. Hal ini terbukti bahwa pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru terjadi masa keemasan dan kejayaan Islam. Dimana terjadi pembaharuan dan perkembangan pemikiran oleh para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan pengembangan keilmuan sampai saat ini, seperti ilmu aljabar.
Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh dunia terutama oleh para generasi muda muslim, sehingga generasi muda muslim saat ini melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Barat pada waktu dark ages –yaitu melakukan dikotomi antara aktivitas spiritual dan aktivitas duniawi- yang justru membuat Islam semakin redup cahayanya. Karena Negara Barat semakin maju ketika jauh dari ajaran agamanya, sementara umat Islam akan semakin tertinggal ketika meninggalkan agamanya.
Ilmu ekonomi adalah suatu disiplin ilmu yang menerangkan tentang proses pengambilan keputusan dalam mengalokasikan kelangkaan sumber daya dalam pemenuhan kegiatan produksi dan aktivitas konsumsi dalam rangka menciptakan suatu kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Ilmu ekonomi dibagi dalam dua cabang utama, yaitu mikroekonomi dan makroekonomi. Mikroekonomi menangani perilaku satuan-satuan ekonomi individual termasuk di dalamnya dalam pengambilan keputusan dalam rangka untuk mengatasi permasalahan alokasi akibat kelangkaan sumber daya. Satuan-satuan ini mencakup konsumen, pekerja atau buruh, para penanam modal, pemilik tanah, perusahaan bisnis –intinya setiap individu atau entitas memainkan peranan dalam berfungsinya suatu perekonomian. Mikroekonomi menjelaskan cara dan alasan-alasan satuan ini membuat keputusan-keputusan ekonomis. Bidang lain yang penting dari mikroekonomi adalah bagaimana satuan-satuan ekonomi berinteraksi untuk membentuk satuan-satuan yang lebih besar –pasar dan industri[1].
            Sementara makroekonomi, cabang utama lain dari ekonomi menangani kepada isu-isu yang bersifat makro atau lebih luas lagi[2], termasuk di dalamnya mengenai jumlah agregat ekonomi, seperti tingkat dan laju pertumbuhan produksi nasional, suku bunga, pengangguran dan inflasi. Tetapi pembatasan antara makroekonomi dan mikroekonomi sudah semakin pudar belakangan ini. Analisis mikroekonomi selalu dimulai dengan pemahaman mengenai kelembagaan dalam ekonomi, termasuk di dalamnya hukum, yang mampu menjelaskan prilaku produsen dalam mengalokasikan sumber dayanya. Para produsen itu pada akhirnya akan mampu mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan, namun para konsumen tersebut memiliki batasan dalam melakukan pilihannya.
            Dengan mempelajari mengenai aspek kelembagaan dalam ekonomi, kita akan belajar mengenai keterbatasan yang dihadapi oleh individu dalam mengambil keputusan yang akan mampu mempengaruhi mereka dalam mengalokasikan sumber dayanya. Untuk memahami apa pilihan mereka, kita harus mampu mengerti apa yang menjadi motif mereka dalam mengambil keputusan ekonominya. Mikroekonomi selalu mengasumsikan bahwasanya motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonominya oleh kepentingan pribadi yang bersifat materi –yaitu nafsu dalam memiliki suatu produk baik barang maupun jasa-, sehingga asumsi awal dalam mikroekonomi konvensional adalah kepentingan pribadi yang bersifat materi inilah yang menjadi motif utama manusia dalam melakukan aktivitas ekonominya. Meskipun ilmu mikroekonomi mamou mengakomodasi kepentingan lainnya termasuk kemungkinan kepedulian kita dengan kesejahteraan sesama.
Dalam konteks skenario ekonomi masa kini di satu sisi ditandai oleh adanya kompetisi, efisiensi, pragmatisme dan transparansi, di pihak lain model saling ketergantungan (cooperation) antar manusia atau lembaga semakin kompleks dan bervariasi. Dalam kondisi ini, ada persoalan besar dan sangat mendasar yaitu paradigma ilmu ekonomi yang ada ternyata tidak mampu memecahkan problem ekonomi yang dihadapi manusia. Teori-teori ekonomi yang ada terbukti tidak mampu mewujudkan ekonomi global yang berkeadilan dan berkeadaban. Malah yang terjadi adalah dikotomi antara kepentingan individu, masyarakat, negara serta hubungan antarnegara.  Selain itu, teori ekonomi yang ada saat ini tidak mampu menyelesaikan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Juga tidak mampu menyelaraskan hubungan antar regional di suatu negara, antara negara-negara di dunia terutama antara negara-negara maju dengan negara berkembang dan terbelakang. Lebih parahnya lagi adalah terabaikannya pelestarian sumber daya alam (non renewable resources).  Untuk itu, tidak heran jika belakangan banyak muncul kritik dari pakar ekonomi itu sendiri.
            Ilmu ekonomi adalah suatu ilmu sosial yang menaruh perhatian berkaitan dengan prilaku manusia dan sebagai suatu ilmu maka ketika mempelajari tentang prilaku manusia para ekonom menggunakan langkah-langkah ilmiah, yaitu:
a.       Observasi awal
Suatu metode ilmiah selalu mengawali dengan observasi atas suatu fenomena yang terjadi, sehingga mampu melahirkan suatu pertanyaan dalam observasi tersebut yang menarik untuk dibahas terutama berkaitan dalam penjelasan mengenai aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu.



b.      Merumuskan teori
Setelah melakukan observasi awal tersebut, maka seorang ilmuwan akan mampu menjelaskan secara logis atas fenomena yang diamati dan ini dinamakan dengan teori.
c.       Identifikasi implikasi dan dampak
Namun tidaklah cukup suatu teori hanya mampu menjelaskan kejadian yang diamati, namun seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi implikasi dan dampak yang dapat ditimbulkan dari teori tersebut.
d.      Observasi lanjutan dan pengujian
Untuk membuktikan apakah suatu teori atau valid adalah dengan melakukan observasi lanjutan dan pengujian. Hal ini untuk membuktikan bahwa teori yang telah disusun dapat diberlakukan secara umum.
e.       Merumuskan kembali teori
Setelah pengujian maka ilmuwan akan mampu merumuskan dan menyempurnakan teori atas fenomena yang dijelaskan, sehingga dapat diaplikasikan dalam menjelaskan aktivitas yang diamati.
Seorang ekonom akan memformulasikan teorinya dalam sebuah model, yaitu penjelasan sederhana mengenai suatu fenomena. Seorang ekonom akan banyak bekerja dengan model atau persamaan matematis. Hal ini dikarenakan sebagian besar keputusan ekonomi adalah bersifat kuantitatif. Model matematis akan mampu memberikan keakuratan dalam menganalisis aktivitas atau fenomena ekonomi yang tengah terjadi.
Hal mendasar dalam memformulasikan suatu teori adalah penyederhanaan asumsi. Para ekonom dalam merumuskan teorinya selalu mendasarkan pada suatu asumsi, sehingga suatu asumsi dapat beralasan dalam menjelaskan suatu fenomena namun pada saat yang lain tidak mampu menjelaskan. Namun penyederhanaan asumsi diperlukan dalam membentuk suatu teori dasar atas fenomena yang diamati.


B.                 Definisi Ekonomi Islam
Wacana mengenai penerapan ekonomi Islam dalam aktivitas ekonomi sehari-hari telah dimulai di Indonesia pada decade 1970-an, namun tonggak utama perkembangan ekonomi Islam adalah dengan berdirinya salah satu bank syariah pada tahun 1992. Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dimana Islam memiliki nilai-nilai universal yang mampu masuk ke dalam setiap sendi kehidupan manusia tidak hanya aspek spiritual semata namun turut pula masuk dalam aspek duniawi termasuk di dalamnya dalam aktivitas ekonomi masyarakat.
Ekonomi Islam yang tengah berkembang saat ini baik tataran teori maupun praktik merupakan wujud nyata dari upaya operasionalisasi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dengan melalui proses panjang dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Perkembangan teori ekonomi Islam telah dimulai pada masa Rasulullah dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ekonomi seperti QS Al-Baqarah ayat 275 dan 279 tentang jual beli dan riba; QS Al-Baqarah ayat 282 tentang pencatatan transaksi muamalah; QS Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS Al-A’raf ayat 31, An-Nisaa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan pembelanjaan harta; serta masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. Ayat-ayat di atas ini memperlihatkan bahwa Islam pun telah menetapkan pokok aturan mengenai ekonomi meskipun pada masih bersifat umum dan praktik implementasi di lapangan akan saling berbeda antar generasi dan jaman.
Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini belum ada kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam. Terdapat perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun dalam membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki.[3]  Merujuk  pendapat Aslem Haneef,  seorang pemikir ekonomi Islam Malaysia para pemikir muslim di bidang ekonomi  dikelompokkan dalam tiga kategori : pertama, pakar bidang fiqih atau hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan normatif; kedua, kelompok modernis yang lebih berani dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam agar dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat kini; ketiga para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat. Mereka mencoba menggabungkan pendekatan fiqih dan ekonomi sehingga ekonomi Islam terkonseptualisasi secara integrated dengan kata lain mereka berusaha mengkonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional tetapi dengan mereduksi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan nilai Islam pada analisis ekonominya.
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan[4]. Tahap pertama (632-656 M), yaitu pada masa Rasulullah SAW. Tahap kedua (656-661 M), yaitu pemikiran ekonomi Islam pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Tahap ketiga (738-1037 M), yaitu para pemikir Islam di periode awal seperti Zayd bin Ali, Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu Ubayd, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan pemikir ekonomi Islam lainnya pada periode awal.
 Tahap keempat atau periode kedua (1058-1448 M). Pemikir ekonomi Islam periode ini Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Mas’ud, Jalaluddin Rumi, Ibnu Rusyd dan pemikir ekonomi Islam lainnya yang hidup pada masa ini. Tahap kelima atau periode ketiga (1446-1931 M), yaitu Shah Waliyullah Al-Delhi, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Mufti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ibnu Nujaym, Ibnu Abidin, Syekh Ahmad Sirhindi. Tahap keenam atau periode lanjut (1931 M – sekarang), yaitu Muhammad Abdul Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qardhawi, Syed Nawab Haider Naqvi, Monzer Khaf, Muhammad Baqir As-Sadq, Umer Chapra dan tokoh ekonomi Islam pada masa sekarang.
Dawam Rahardjo[5], memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi  yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat Islam.
Beberapa definisi dan pengertian Ekonomi Islam  telah dikemukakan oleh para pakar yang mengembangkan keilmuan ini. Dapat disebutkan di sini antara lain, Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa ekonomi adalah subset dari agama. Kata Ekonomi Islam sendiri difahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada al Quran dan Sunnah.[6] Menurut Kahf pula,[7] ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika, ushul fiqh.
Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh para pakar ekonomi Islam kontemporer lainnya seperti: 1) Umar Chapra[8], Ilmu ekonomi Islam adalah suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan moral masyarakat; 2)  S.M. Hasanuzzaman[9]: “Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat.; 3) M. Nejatullah Siddiqi[10] mendefisinisikan: “Ilmu ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan Qur’an dan Sunnah, akal dan pengalaman.”; 4) Syed Nawab Haider Naqvi[11]: “ Ilmu ekonomi Islam adalah perwakilan perilaku kaum muslimin dala suatu masyarakat muslim tipikal”. Tidak jauh berbeda dengan pemikir lainnya, Muhammad Abdul Manan (1992)[12] berpendapat bahwa  ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Dalam kaitan ini, M.M. Metwally (1995)[13] mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam  yang  mengikuti Al-Quran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma. M.M. Metwally (1995)[14] memberikan alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan  menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks kemaslahatan bersama.
Ilmu Ekonomi Islam memiliki akar teologi, tetapi ia bukanlah kajian yang mendalam tentang teologi dan memang bukan bagian dari teologi. Ilmu ekonomi Islam memiliki hubungan yang erat dengan fiqh dan perundang-undangan Islam (syari’ah dan tasyri’) terutama subyek yang berkaitan dengan hubungan antara manusia (muamalah). Akan tetapi, ia bukanlah ilmu fiqh. Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi dan keprihatinan utamanya adalah problema-problema ekonomi dan institusinya. Dalam perspektif ini ia seharusnya dipandang sebagai suatu disiplin akademik. Secara umum ekonomi Islam didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meneliti, dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara Islami berdasarkan al Quran dan Sunnah. Ilmu ekonomi Islam tidak mendikotomikan antara aspek normatif dan positif.[15] Dalam pandangan positivisme ekonomi hanya mempelajari perilaku ekonomi yang terjadi dan memisahkan dari aspek norma dan etika. Memasukan aspek etika dipandang sebagai sesuatu yang normatif.
Ekonomi Islam mempelajari apa yang terjadi pada individu dan masyarakat yang perilaku ekonominya diilhami oleh nilai-nilai Islam. Berikut argumentasi yang dikembangkan oleh para pemikir ekonomi Islam terkait hal tersebut[16]: Pertama, ilmu ekonomi Islam syarat dengan nilai-nilai. Ilmu ekonomi Islam jelas akan melakukan fungsi penjelasan (eksplanatori) terhadap suatu fakta secara obyektif. Ia juga melakukan fungsi prediktif seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Dalam menjalankan kedua fungsi ini, ia menjalankan fungsi utama sains secara positif atau menjelaskan “apa” (what is). Namun kiprahnya tidak hanya terbatas pada aspek positif berupa penjelasan dan prediksi saja. Pada tahapan tertentu ia juga harus melakukan fungsi normatif, menjatuhkan penilaian (value judgement) dan menjelaskan apa yang seharusnya (what should be). Ini berarti bahwa ilmu ekonomi Islam bukanlah value-neutral. Ia memiliki seperangkat nilainya tersendiri, kerangka kerja nilai-nilai dimana dia beroperasi. Karena itulah maka reformasi ekonomi Islam tidak dapat dilakukan secara isolasi atau parsial, ia hanya dapat dilakukan dalam konteks Islamisasi masyarakat secara total.
Kedua, dalam kerangka ini, hubungan-hubungan teknis akan dipelajari dan dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan mashlahat dan tetap dalam konteks suatu kerangka nilai.[17] Dengan demikian ilmu ekonomi Islam tidak hanya berbicara tentang bagaimana perilaku manusia ekonomi itu (economic man) dalam lapangan ekonomi, tetapi juga bagaimana  suatu disiplin normatif dapat diimplementasikan dan diinjeksikan ke dalam diri manusia sehingga sasaran yang hendak diinginkan Islam dapat diwujudkan. Ketiga, karena citranya yang demikian itulah maka dalam kerangka kerja ini terdapat peran kebijakan dari sektor pemerintah terhadap perilaku manusia agar tetap berada pada arah realisasi dan pemenuhan akan nilai-nilai tersebut. Hal ini menjadikan lingkup kajian ilmu ekonomi Islam lebih luas dan komprehensif. Lebih komprehensif karena ia bukan hanya  berbicara tentang motif tetapi juga perilaku, lembaga dan kebijakan. Ia mempelajari perilaku manusia seperti apa adanya, namun ia juga memiliki suatu visi tertentu di masa yang akan datang dimana perilaku manusia harus diarahkan kepadanya. Pendekatan demikian merupakan ciri menonjol dari ilmu ekonomi Islam.
Dengan demikian upaya untuk memajukan ekonomi, memproduksi barang dan jasa dalam kegiatan produksi, dan mengkonsumsi hasil-hasil produksi serta mendistribusikannya, seharusnya berpijak kepada ajaran agama. Artinya, apabila kita mengacu pada ajaran Islam, tujuan hidup mardatillah harus mendasari (mengilhami dan mengarahkan) konsistensi antara niat (li Allah ta ala) dan cara-cara untuk memperoleh tujuan berekonomi (kaifiat).[18]  Dalam pengertian tersebut Ilmu ekonomi Islam adalah juga suatu upaya yang sistematis mempelajari masalah-masalah ekonomi dan perilaku manusia dan interaksi antara keduanya. Upaya ilmiah itu juga mencakup masalah pembangunan suatu kerangka kerja ilmiah untuk membentuk pemahaman teoritis (theoritical understanding), rekayasa institusi yang diperlukan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi yang dapat membantu memenuhi kebutuhan manusia secara optimal dan ideal. Batasan ini masih bersifat tentatif namun jelas memberikan gambaran yang tegas bahwa ilmu ekonomi Islam adalah studi tentang problem-problem ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya.
Bila dipelajari ajaran-ajaran Islam di bidang ini, dapat disimpulkan beberapa point yang sangat penting sebagai petunjuk untuk membangun disiplin ini. Pertama, Islam memberikan petunjuk tentang adanya seperangkat tujuan dan nilai-nilai dalam kehidupan perekonomian. Kedua, Islam memberikan kepada manusia sikap psikologis dan satu spektrum yang mengandung motif-motif dan insentif. Islam juga memasok prinsip-prinsip hubungan perekonomian. Pokok-pokok petunjuk di atas merupakan hasil inferensi yang dipetik dari ruh ajaran Islam.
   Mengacu pada pemikiran Choudhury (1998) disepakati bahwa epistemologi fundamental ekonomika Islami didasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan “the primordial stock of knowledge” sehingga disebut sebagai tauhidi epistimologi.  Runtun proses bagaimana implementasi epistemologi Tauhidi ke dalam tata aturan kehidupan ditempuh melalui ijtihad terekam dalam Qiyas maupun Ijma, dan juga pemikiran kontemporer dari pemikir Muslim hingga saat ini           Karakter dari epistimologi Tauhidi ialah (a) premis aksiomatiknya tidak berubah, (b) tidak dapat dipecah-pecah, (c) dalam kesatuan dan sempurna, dan (d) dapat diimplementasikan secara universal kepada semua sistem, karena merupakan kesatuan (unity), maka derivasinya adalah persatuan (unification) dari “the primordial stock of knowledge”. Aksioma yang dimaksud   diturunkan  dari  Al Qur’an,  yakni  bahwa  Allah SWT adalah Maha Pencipta yang dengan 99 sifat-sifat-Nya memanifestasikan kemuliaan-Nya atas ciptaan-Nya. Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah di muka bumi harus juga memanifestasikan sifat-sifat-Nya ke dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, manusia dibekali amanah untuk berkebebasan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya, menciptakan dan menjaga kehidupan dunia dan akhirat secara berkeseimbangan, dan bertanggungjawab atas pekerjaannya itu baik di dunia dalam rangka bermuamalat maupun di akhirat pada hari pembalasan. Format berkehidupan seperti ini disebutkan sebagai tujuan mardhatillah. Inilah butir-butir iman yang masuk ke dalam aksioma al-iqtishad (ekonomi).
Berdasar atas pertimbangan tersebut di atas, teori, model dan sistem ekonomi Islam -sebagai alternatif teori ekonomi yang telah mati- harus didasarkan pada aksiomatik etika Islam yang dirangkum dalam Tauhid, Kebebasan, Keseimbangan, dan Pertanggungjawaban dari setiap individu. Mengacu pada pemikiran Choudury (1998) tentang prinsip-prinsip Ekonomika Islami adalah : (1) Tauhid dan Ukhuwwah, (2) Kerja dan Produktivitas, dan (3) Keadilan Distributif . Sebagai khalifah di bumi, manusia berkewajiban untuk memanfaatkan bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang serba berkecukupan itu untuk sebesar-besar kemaslahatan ummat, bukan untuk orang seorang, karena setiap insan beriman bahwa pemilikan mutlak adalah pada Allah swt. Untuk itu, ia harus bekerjasama dengan sesama seraya memohon bimbingan Allah. Hubungan dengan Allah dan dengan sesama dalam keseharian kerja inilah yang menjadikan suatu hasil kerja dapat disebut sebagai bermanfaat. Pemanfaatannya tidak sekedar berkisar pada tematik alokasi sumber daya yang optimal, pertukaran antar barang dan jasa melalui pasar, dan memaksimumkan laba, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah keadilan sosial. 
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah:
1.        Pemenuhan kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
2.        Memastikan kesetaraan kesempatan untuk semua orang
3.        Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
4.        Memastikan kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral
5.        Memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Kerangka institusional suatu masyarakat Islam yang diajukan oleh M.Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya “Teaching Economics in An Islamic Perspective” adalah:
1.        Meskipun kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam Islam diperkenankan suatu kepemilikan pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban dengan sesama dan batasan-batasan moral yang diatur oleh syariah.
2.        Kebebasan untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap mendapatkan batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini kompetisi yang berlangsung haruslah persaingan sehat.
3.        Usaha gabungan (joint enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam bekerjasama, dimana sistem bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko yang mungkin timbul diterapkan.
4.        Konsultasi dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan publik.
5.        Negara bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur individu dalam setiap keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam.
Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi Islam adalah
1.      Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh orang lain.
2.      Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam setiap melakukan aktivitasnya akan mampu pula memikirkan dampaknya bagi orang lain.
3.      Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
4.      Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama, sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Pesatnya perkembangan lembaga keuangan syari’ah memberi angin segar bagi maraknya kegiatan ilmiah berbasis Ekonomi Islam yang dilakukan, terutama oleh kalangan akademisi Perguruan Tinggi Umum maupun Islam, hal ini juga menunjukkan semakin meningkatnya apresiasi umat Islam terhadap upaya penegakkan syari’ah dalam bidang ekonomi atau upaya artikulasi nilai-nilai Islam dalam ruangan ekonomi. Bahkan saat ini beberapa perguruan tinggi telah menjadikan ekonomi Islam sebagai objek kajian (subjek matter) baik dalam bentuk program studi maupun konsentrasi. Ada semacam justifikasi sosial atas kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi konvensional yang selama ini dijalankan, sekaligus menumbuhkan kuriositas umat Islam, khususnya, untuk lebih memahami Ekonomi Islam. Bahkan bagi sebagian kelompok masyarakat muslim ada semacam tuntutan untuk menemukan kembali khazanah Islam yang sempat terlupakan dalam bidang ekonomi.
Maraknya kajian-kajian tentang ilmu ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari fenomena kebangkitan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang orisinil (Islamic Resurgance) di seluruh dunia Islam bahkan di kawasan minoritas Muslim. Kebangkitan Islam yang melanda hampir di seluruh dunia kini tengah mencari suatu tatanan baru yang jangkauannya tidak hanya pada aspek ideologis, moral, kultural dan politik saja, namun juga pada aspek ekonomi. Penggerak utama di balik kebangkitan ini adalah keinginan untuk merekontruksi struktur masyarakat dan perekonomiannya dengan mengadopsi nilai-nilai keimanan, agama dan tradisi sejarah mereka.
Sistem menyangkut pengaturan, seluruh perangkat keorganisasian, institusi dan prinsip-prinsip yang berhubungan tentang bagaimana masyarakat mencapai tujuan materialnya.  Spesifikasinya, sistem ekonomi harus mempunyai persyaratan, yaitu: (a) ia harus mengidentifikasi institusi tertentu yang menopang format dimana kegiatan ekonomi berlangsung, (b) tujuan dari kegiatan ekonomi ingin dicapai, dan (c) sarana-sarana dan proses melalui kelengkapan ini tujuan dapat dicapai. Dalam kaitan ini dapat dilihat tulisan tentang Islamic concept of ownership oleh Mohammad Sakr, Islamic economic system oleh Sultan Abu Ali, dan Distributive Justice in Islam oleh Mohammad Anas Zarqa. Fokus pertama mencakup filosofi dan tatanan institusi dalam sistem ekonomi Islam, yang kedua melihat secara rinci elemen-elemen dari sistem dan bagaimana memfungsikannya, sedangkan yang ketiga menganalisis tujuan sistem ekonomi Islam dan sarana pencapaiannya dalam kerangka Syariah. Daya jangkau lapangan ini meliputi persoalan kepemilikan; individu, bersama dan negara, kebebasan bertransaksi, kesejahteraan sosial serta hubungan si Kaya dan si Miskin. Pelaku utama dalam lapangan ini adalah pemerintah melalui regulasi dan perundang-undangan.
Setiap sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem ekonomi Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan-pandangan yang benar terhadap hakekat manusia. Sistem-sistem yang ada memiliki filosofi yang berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari muara yang sama yaitu materialisme.
Kelompok materialisme hanya memandang manusia dari sudut keuntungan fisik semata sehingga tidak utuh dan tidak seimbang, maka akan mendorong dan menggiring manusia ke arah paham kebendaan dan hedonisme. Sedangkan ekonomi Islam dengan mengikuti pemikiran yang ditawarkan Prof. Choudhury, didasarkan atas prinsip : Tauhid (norma/moral Islam), persaudaraan (brotherhood), kerja dan produktivitas (work and productivity), distribusi pendapatan dan kekayaaan yang merata ( distributive equity), kerjasama (cooperation), organisasi (organization)/ institusi Islam (islamic institutionalism).[19] Prinsip tersebut teraplikasikan ke dalam sistem ekonomi Islam. Beberapa karakteristik sistem ekonomi Islam menurut para pemikir ekonomi Islam seperti M.A Manan [20] dan Monzer Kahf[21], setidaknya meliputi: a) mengakui kepemilikan individu dan kolektif dalam konteks kemaslahatan; b) tiadanya transaksi berbasis bunga  dan mengunggulkan sistem bagi hasi /profit anda loss sharing seperti dalam mudharabah atau musyarakah, c) berfungsinya institusi zakat sebagai salah satu  sarana distribusi, d) mengakui mekanisme pasar, e) perlu adanya peranan negara atau pemerintah dalam fungsinya sebagai regulator dan supervisi.
Umar Chapra[22], merinci beberapa fungsi yang harus dilakukan pemerintah negara Islam yaitu : a) memberantas kemiskinan, b) menciptakan kondisi full employment dan pertumbuhan yang tinggi, c) menjaga stabilitas nilai real uang, d) menegakkan hukum dan ketertiban, e) menjamin keadilan sosial dan ekonomi, f) mengatur jaminan sosial dan mendorong distirbusi pendapatan dan kekayaan yang adil, g) mengharmoniskan hubungan internasional dan menjaga pertahanan negara.
Demikian beberapa karakteristik ekonomi Islam yang pada gilirannya akan membentuk tahapan ketiga yang disebut sebagai perekonomian umat Islam. Ketiga, Ekonomi Islam sebagai “Perekonomian umat Islam” atau lebih tepat “Perekonomian Dunia Islam”. Wilayah ini menjadi objek pola laku umat Islam sebagai pelaku ekonomi. Prinsip yang dikembangkan lebih ditekankan pada kinerja unit ekonomi umat Islam. Lapangan ini menjadi arena umat Islam yang menjadi pelaku utamanya. Perubahan masyarakat dari satu sistem nilai ke sistem nilai baru merupakan proses panjang, diperlukan strategi dan keinginan kuat dari seluruh pihak, sehingga ekonomi Islam kehadirannya memang dibutuhkan oleh masyarakat dan bukan sesuatu yang mengada-ada atau dipaksakan.
Penegakkan pada salah satu level saja tidak akan menghasilkan tegaknya syari’ah Islam dalam bidang ekonomi. Teori ekonomi Islam yang kuat tanpa diterapkan menjadi sistem hanya akan menjadikan ekonomi Islam sebagai kajian ilmu belaka tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Dengan demikian diperlukan adanya upaya yang sinergi pada ketiga level tersebut dengan melibatkan seluruh komponen dalam rangka menegakkan syari’ah Islam dalam bidang ekonomi. Selain para praktisi, ulama, dan organisasi sosial keagamaan, peran para akademisi juga menjadi sangat strategis dalam upaya membangun, mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia.



Kegiatan pemikiran ekonomi di dunia Islam setidaknya mengambil dua pola. Pertama adalah pola ideal yakni sistem ekonomi Islam yang lebih komprehensif dan holistik sebagai agenda jangka panjang dan hal ini diupayakan secara terus-menerus. Kedua adalah pola pragmatis yaitu mengembangkan sistem yang bersifat parsial dan satu aspek saja, dalam hal ini lembaga keuangan syariah (perbankan syariah). Di Indonesia, realitas menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran ekonomi Islam dimulai melalui pola kedua, sehingga tidak heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat daripada pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif, sehingga wajar keterbatasan sumber daya insani yang memahami secara baik aspek ekonomi dan syariah menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam rangka pengembangan ekonomi Islam. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan lembaga keuangan syariah itu sendiri merupakan pintu masuk bagi para pemikir muslim Indonesia untuk lebih mendalami ekonomi Islam dalam kerangka ilmu dan sistem. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang pada mulanya hanya merupakan diskusi teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang tumbuh dan berkembang. Bahkan, saat ini industri perbankan syariah telah bertransformasi dari hanya sekedar bank alternatif dengan sistem syariah menjadi bank yang mampu memainkan peranannya dalam percaturan ekonomi dunia. Bank syariah semestinya tumbuh subur di Indonesia yang mendasarkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila dan konstitusi yang menghendaki adanya ekonomi yang berkeadilan.
Menurut Sri Edi Swasosno, Ekonomi Syariah adalah sejalan dengan Ekonomi Pancasila dan bersifat compatible meski tidak sepenuhnya substitutable, untuk itu ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah. Ekonomi syariah harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade off secara sistemik, yang subordinatif dan diskriminatori, yang membiarkan berkembangnya laissez faire dalam arti luas. 

Untuk itu perbankan syariah diharapkan mampu memainkan perannya yang strategis terutama dalam mendukung perekonomian nasional terutama upaya memperkuat usaha masyarakat sehingga keadilan distributif dapat terwujud dalam tempo yang tidak terlalu lama. Perjuangan yang selayaknya dilakukan oleh para penggerak ekonomi syariah adalah mewujudkan suatu sistem yang berdasarkan konsep penafian sistem bunga dalam trasaksi bisnisnya, mengembalikan uang pada fungsinya sebagai media penukaran bukan menjadikannya sebagai komoditas, pengembangan syirkah dan trasaksi syariah lainnya dalam membentuk pola hubungan yang partisipatif dan egaliter bukan eksploitatif. Perbankan syariah ataupun lembaga keuangan syariah adalah salah satu dan bukan satu-satunya institusi yang dapat menerapkan konsep tersebut.

C.                Permasalahan Utama dalam Ekonomi
Ekonomi merupakan studi tentang manusia, dimana terjadi pertentangan antara kebutuhan dan keinginan manusia yang sifatnya tidak terbatas berbenturan dengan kapasitas sumber daya yang terbatas. Oleh karenanya ekonomi hadir tentang bagaimana menggunakan atau mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi yang terbatas jumlahnya tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebaik-baiknya. Sehingga yang menjadi masalah pokok dalam suatu sistem ekonomi adalah masalah kelangkaan (scarcity). Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, keamanan, kebutuhan sosial serta kebutuhan individu akan pengetahuan dan suatu keinginan untuk mengekspresikan diri. Sementara keinginan adalah bentuk kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh budaya dan kepribadian individual. Manusia mempunyai keinginan yang nyaris tanpa batas tetapi sumber dayanya terbatas. Jadi mereka akan memilih produk yang memberi nilai dan kepuasan paling tinggi untuk uang yang dimilikinya. Dengan keinginan dan sumber daya yang dimiliki manusia akan menciptakan permintaan akan produk dengan manfaat yang paling memuaskan.


Permintaan adalah keinginan manusia yang didukung oleh kemampuan daya beli seseorang. Keinginan dapat berubah menjadi permintaan bilamana disertai dengan daya beli. Konsumen memandang produk sebagai kumpulan manfaat dan memilih produk yang memberikan kumpulan terbaik untuk uang yang mereka keluarkan. Tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu permintaan apabila keinginan tersebut tidak disertai dengan kemampuan untuk membeli suatu produk atau jasa tersebut.
Berdasarkan pandangan atas kebutuhan dan persyaratan apa yang dibutuhkan untuk memenuhinya, akan berlanjut kepada kelangkaan relatif atas pemenuhan kebutuhan dalam rangka pencapaian nilai yang lebih tinggi dan pencapaian suatu tujuan tertentu. Dalam pandangan ekonomi konvensional ilmu ekonomi adalah studi tentang pemanfaatan sumber daya yang langka atau terbatas (scarcity) untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas (unlimited)[23]”.
Secara umum, ilmu ekonomi adalah studi tentang pilihan atas berbagai kebutuhan dan keinginan manusia yang dibatasi oleh sumber daya yang sifatnya terbatas. Kelangkaan tidak dapat terelakkan dalam kehidupan manusia dan telah menjadi pusat permasalahan ekonomi. Namun apakah sumber daya masyarakat itu? Lalu kenapa kelangkaan tersebut terjadi? Kemudian konsekuensi apa yang didapat dari terjadinya kelangkaan? Sumber daya terdiri atas sumber daya alami dan sumber daya buatan. Dimana sumber daya alami terdiri atas sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sedangkan sumber daya buatan adalah modal dan pengusaha. Para ahli ekonomi menamakan seluruh sumber daya ini sebagai faktor-faktor produksi, sebab mereka ini digunakan untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan orang. Barang-barang yang dihasilkan atau diproduksi dinamakan komoditi. Komoditi dapat dipisahkan menjadi barang dan jasa, dimana barang selalu berujud sedangkan jasa tidak berwujud.
            Bagi sebagian besar umat manusia yang hidup di dunia ini kelangkaan merupakan suatu hal yang nyata, sedangkan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas jumlahnya tidak sebanding dengan besarnya permintaan. Walaupun suatu negara itu sudah kaya atau makmur bukan berarti masalah kelangkaan sudah selesai. Namun tetap saja dibutuhkan output yang lebih banyak lagi agar seluruh rumah tangga dapat mengkonsumsinya. Karena keterbatasan sumber daya tersebut, maka setiap individu menghadapi masalah pengambilan keputusan tentang apa yang harus diproduksi dan bagaimana membagi produk tersebut di kalangan anggota masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai preferensi yang berbeda dalam menentukan pilihan tersebut. Keterbatasan dalam melakukan pilihan tersebut secara tidak langsung menunjukkan akan timbulnya suatu biaya, hal ini dikenal dengan biaya peluang (opportunity cost). Dimana keputusan untuk memiliki sesuatu lebih banyak sama dengan keputusan untuk memiliki hal lainnya lebih sedikit. Setiap kali keterbatasan atau kelangkaan memaksa seseorang untuk menentukan pilihan, maka dia sedang menghadapi masalah biaya peluang. Biaya ini diukur dengan satuan alternatif yang dilepaskan. Karena ketika seseorang menentukan pilihannya atas sesuatu hal, maka ia melepaskan kepuasan pilihannya atas suatu hal yang lain.





Gambar 1.1. menggambarkan kombinasi yang harus diambil atas dua pilihan barang X dan barang Y.  Hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh individu. Dalam contoh ini digambarkan biaya peluang (opportunity cost) adalah konstan, sehingga garis pembatas berbentuk lurus. Namun dalam dunia riel, biaya peluang bisa saja tidak konstan. Selain itu ada lagi proses pemilihan yang dilakukan oleh produsen ketika memutuskan akan memutuskan untuk memproduksi suatu barang. Gambar 1.1. memperlihatkan bahwa apabila seorang individu memilih titik A, maka individu tersebut telah memilih seluruh komoditi Y dan melepaskan keinginannya atas komoditi X, begitu pula sebaliknya apabila memilih titik C. Sementara titik B adalah individu mencoba mengkombinasikan konsumsinya antara komoditi X dan komoditi Y.
Karena sumber daya terbatas, pilihan untuk memproduksi suatu barang lebih banyak akan menurunkan produksi barang lain. Sehingga proses produksi yang bisa dicapai adalah kombinasi berdasarkan sumber daya yang tersedia. Hal ini bisa digambarkan dalam suatu kurva yang dinamakan batas kemungkinan produksi (production possibility frontier). Kemiringan (slope) kurva ini turun ke kanan bawah. Dari gambar 1.2. terlihat bahwa titik a dan titik d merupakan kombinasi yang tidak bisa dicapai, karena sumber daya yang dimiliki tidak mencukupi untuk memproduksi sebanyak itu. Sementara titik c merupakan titik yang tidak optimal, karena ada sumber daya yang tidak terpakai









Batas kemungkinan produksi mengungkapkan tiga konsep yaitu keterbatasan/kelangkaan (scarcity), pilihan (choice) dan biaya peluang (opportunity cost). Keterbatasan ditunjukkan oleh kombinasi-kombinasi yang tidak bisa dicapai di atas batas garis; pilihan ditunjukkan oleh kebutuhan untuk memilih dari sekian titik-titik alternatif yang bisa dicapai sepanjang batas; biaya peluang diperlihatkan oleh kemiringan batas tersebut ke kanan bawah.
Sehingga dari permasalahan utama mendasar, setiap masyarakat menghadapi dan harus memecahkan tiga permasalahan pokok ekonomi[24]:
a.       Apa yang harus diproduksi  dan dalam jumlah berapa barang tersebut diproduksi (WHAT)
b.      Bagaimana sumber-sumber ekonomi (faktor-faktor produksi) yang tersedia harus dipergunakan untuk memproduksi barang-barang tersebut secara optimal (HOW)
c.       Untuk siapa barang-barang tersebut diproduksikan; atau bagaimana barang-barang tersebut dibagikan diantara warga masyarakat (FOR WHOM)
Masyarakat memecahkan ketiga permasalahan ekonomi pokok tersebut dengan berbagai cara mulai dari kebiasaan, tradisi, insting, komando (paksaan) sampai kepada mekanisme harga di pasar. Dalam dunia ekonomi modern saat ini untuk memecahkan permasalahan di atas adalah dengan menyerahkannya kepada mekanisme harga di pasar. Gerak harga (mekanisme harga) dari setiap barang dan faktor produksi bisa memecahkan ketiga masalah ekonomi pokok dari masyarakat dengan jalan:
a.       Bila masyarakat menghendaki lebih banyak akan sesuatu barang, maka harga barang tersebut akan naik. Sehingga penjual memperoleh keuntungan yang lebih besar, selanjutnya produsen akan memperbesar kapasitas produksinya atas produk tersebut, akibat peningkatan kapasitas produksi  maka total barang akan bertambah. Barang akan semakin ditingkatkan produksinya sampai dengan batas maksimal yang dapat diproduksi, sampai dengan batas maksimal dimana penawaran lebih tinggi dari permintaan, maka harga barang tersebut akan menurun dan akhirnya produsen akan menurunkan kapasitas produksinya. Proses sebaliknya akan terjadi bila harga turun. Jadi gerak harga-harga barang menentukan apa dan berapa setiap barang akan tersedia (diproduksikan) di dalam masyarakat. (Masalah What);
b.      Barang dihasilkan dari proses pengkombinasian faktor-faktor produksi oleh produsen, dimana faktor-faktor produksi ini merupakan kombinasi paling efisien dan efektif bagi perusahaan dalam proses produksinya. Bila harga sesuatu faktor produksi naik, maka produsen akan berusaha mengadakan penghematan penggunaan faktor tersebut dan menggunakan lebih banyak faktor-faktor produksi yang lain untuk proses produksinya, dan berusaha mencari barang subtitusi yang paling efisien dalam produksinya. Sehingga produsen akan selalu mencari kombinasi faktor produksi yang paling efisien dalam proses produksinya.  Gerak harga faktor produksi menentukan kombinasi optimal yang digunakan produsen dalam proses produksinya. (Masalah How);
c.       Barang-barang hasil produksi dijual baik oleh produsen maupun konsumen. Konsumen membayar harga barang-barang hasil produksi oleh produsen tersebut dari penghasilan yang diterimanya, dimana penghasilan yang didapat oleh konsumen tersebut bersumber dari penjualan jasa-jasa atas faktor produksi yang dimilikinya kepada produsen berupa upah dari tenaga yang mereka keluarkan kepada produsen. Pola distribusi penghasilan antar warga masyarakat tidak hanya ditentukan oleh harga faktor-faktor produksi saja tetapi juga oleh pola kepemilikan. Semakin terpusat suatu kepemilikan, maka akan semakin terpusat pula distribusi barang-barang di masyarakat. Gerak harga barang dan faktor produksi menentukan distribusi barang-barang yang dihasilkan di dalam masyarakat antara warga masyarakat. (Masalah For Whom).
Meskipun dalam mekanisme harga yang dalam bahasa ekonomi dipengaruhi oleh “invisible hand” tidak semuanya bisa dipecahkan oleh mekanisme harga di pasar. Sebab ada bagian yang secara umum mekanisme harga tidak memecahkan masalah dengan baik, karena menyangkut kepentingan umat yang lebih besar[25]:
a.       Distribusi pendapatan
Mekanisme harga tidak selalu bisa menjamin dipecahkannya masalah “For Whom” secara adil, sebab ada pihak yang semakin dirugikan dan diinjak-injak oleh pihak lain. Hal ini terkait dengan pola kepemilikan yang terjadi di masyarakat, dimana terjadi kesenjangan pendapatan di masyarakat yang memerlukan suatu mekanisme agar tercipta suatu keadilan, dan hal ini kurang dapat dilakukan oleh mekanisme harga. Apabila hal ini sepenuhnya dilepas menurut mekanisme harga yang terjadi maka akan dapat menyebabkan pemusatan kekayaan kepada segelintir kelompok tertentu yang memiliki akses modal lebih besar dan merugikan kelompok masyarakat yang lemah yang kurang memiliki akses modal. Sehingga tugas negara adalah untuk memastikan untuk tidak terjadinya kesenjangan pendapatan di masyarakat.
b.      Ketidaksempurnaan pasar
Hal ini apabila terjadi suatu perbedaan yang tajam dalam hal kekuasaan ekonomi antara pihak-pihak yang bertransaksi di pasar, maka harga yang terjadi di pasar tidak menggambarkan keadaan masyarakat sebenarnya. Struktur pasar pesaingan sempurna sangatlah sulit untuk ditemukan dalam kehidupan nyata, karenanya mekanisme harga yang sepenuhnya diserahkan kepada sistem pasar akan mengerucut kepada terjadinya ketidaksempurnaan pasar, karena struktur pasar yang paling banyak adalah struktur oligopoli. Sehingga dalam hal ini masalah “What” dan “How”  tidak terpecahkan dengan baik.
c.       Barang-barang publik
Dalam kehidupan ini ada barang-barang yang hanya bisa disediakan secara kolektif oleh masyarakat maupun pemerintah (contoh: keamanan, , infrastruktur jalan, sarana publik, taman kota, dan sebagainya). Dimana tidak terdapatnya harga pasar bagi barang-barang publik ini, barang-barang publik ini tidak dapat disediakan oleh swasta karena secara ekonomi tidak menguntungkan. Hal ini menyebabkan barang-barang publik harus disediakan oleh negara demi kesejahteraan masyarakat. Sehingga terlihat sekali lagi bahwa masalah “What” untuk barang-barang publik ini tidak bisa dipecahkan dengan baik oleh mekanisme harga.
d.      Eksternalitas
Dalam mekanisme pasar tidak bisa atau kurang memperhitungkan dampak-dampak yang ditimbulkan secara tidak langsung dari kegiatan ekonomi baik itu eksternalitas positif –yaitu dampak pembangunan yang memberikan hasil positif terhadap masyarakat- (contoh: pembangunan jalan membuat suatu daerah menjadi terbuka dari aktivitas dan kegiatan perekonomian dan berakibat pada semakin majunya perekonomian yang terdapat di suatu daerah) maupun eksternalitas negatif –yaitu pembangunan yang berdampak negatif terhadap masyarakat- (contoh: polusi udara yang ditimbulkan oleh pabrik atau polusi debu yang ditimbulkan akibat pembangunan suatu jalan tol mengakibatkan terjangkitnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di masyarakat).

e.       Makro ekonomi
Mekanisme harga pun seringkali tidak bisa diandalkan secara penuh untuk menstabilkan gejolak (fluktuasi) naik turunnya kegiatan ekonomi secara total (nasional atau makro), dalam hal ini intervensi pemerintah masih sangat diperlukan. Penyesuaian dalam aktivitas makro ekonomi tidak dapat dilakukan oleh mekanisme harga melainkan harus diselesaikan oleh bidang ilmu ekonomi publik dan ekonomi politik. Sebab apabila mengandalkan sepenuhnya kepada mekanisme harga, banyak permasalahan makroekonomi yang perlu diselesaikan secara lebih bijaksana dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek.
Dalam kelima bidang ini, mekanisme harga tidak bisa diharapkan menyelesaikan permasalahan ekonomi secara otomatis dan baik, sehingga masih dibutuhkan tindakan-tindakan dan kebijakan yang harus dirumuskan dan dijalankan secara sadar, terstruktur dan sistematis oleh negara dalam bentuk suatu perencanaan pembangunan. Dalam praktik mekanisme harga dan perencanaan digunakan secara bersama-sama. Tidaklah ada suatu negara yang murni menerapkan mekanisme harga secara total dan tidak ada suatu negara pun yang murni menerapkan perencanaan secara total. Suatu hal yang mustahil apabila mekanisme harga dan perencanaan menjadi suatu bagian terpisahkan, sebab hal ini akan menjadikan perekonomian suatu negara menjadi terpuruk.
Ekonomi konvensional mempunyai paradigma yang berbeda dengan ekonomi Islam. Karena ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler dan sama sekali tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor Tuhan) didalamnya. Sehingga ekonomi konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas nilai (positivistik). Sementara ekonomi Islam dibangun di atas prinsip-prinsip syariah. Dalam tataran ini, ekonom muslim tidak berbeda pendapat. Namun ketika diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam itu mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran para ekonom muslim kontemporer terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonom muslim ini dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran mereka telah tersusun secara sistematis. Tiga mazhab[26] tersebut adalah:
¨      Mazhab Iqtishaduna
¨      Mazhab Mainstream
¨      Mazhab Alternatif-kritis

1.                  Mazhab Iqtishaduna

            Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”. Dimana mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa berjalan seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah tetap Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian dan filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi Islam (Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada perbedaan cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi termasuk pula dalam alat analisis yang dipergunakan.
Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia terbatas, dimana faktor utama permasalahan ekonomi adalah masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang mereka pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Al Qur’an Surat Al Qamar ayat 49
 Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya”. 
Dengan demikian segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Kemudian mereka mengajukan sanggahan atas keinginan manusia yang tidak terbatas, menurut mereka keinginan manusia pun bersifat terbatas. Sebagai contoh: manusia akan berhenti makan bila sudah kenyang. Sehingga ditarik suatu kesimpulan bahwa keinginan manusia yang tidak terbatas itu adalah salah, sebab kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keinginan manusia terbatas.
Mazhab ini berpendapat bahwa permasalahan dalam ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak yang lemah oleh sekelompok pihak yang lebih kuat, dimana pihak yang kuat akan mampu menguasai sumber daya yang ada sementara di pihak lain pihak yang lemah sama sekali tidak mempunyai akses terhadap sumber daya tersebut. Sehingga masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas. Manusia secara fitrahnya merupakan makhluk yang tidak pernah merasa puas atas apa yang telah dimilikinya. Mereka akan selalu berusaha mewujudkan setiap yang diinginkan.
Oleh karena itu istilah ekonomi Islam menurut mazhab ini adalah suatu istilah yang tidak tepat dan menyesatkan, sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan atau dihilangkan. Sebagai gantinya untuk menjelaskan mengenai sistem ekonomi dengan prinsip Islam ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari filosofi Islam yaitu iqtishad. Iqtishad menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad berasal dari bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equlibrium atau keadaan sama, seimbang atau pertengahan. Oleh karenanya, semua teori ekonomi konvensional ditolak dan dibuang dan diganti oleh teori-teori baru yang disusun berdasarkan nash-nash Al Qur’an dan Sunnah.
2.                  Mazhab Mainstream
            Mazhab kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab kedua atau yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalil yang dipakai oleh mazhab ini adalah Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 155
Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”.
            Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah dan bersifat sunatullah serta merupakan fitrah manusia. Dalilnya adalah surat At Takaatsur ayat 1-5
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)”
           
Perbedaan mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai agama ataukah tidak. Dengan kata lain pilihan dilakukan berdasarkan tuntutan nafsu semata (Homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi Islam penentuan pilihan tidak bisa tanpa aturan, sebab semua sendi kehidupan kita telah diatur oleh Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga kita sebagai manusia ekonomi Islam (Homo Islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada.
            Tokoh-tokoh mazhab antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, M A Mannan, M N Siddiqi, dll. Mayoritas mereka adalah para pakar ekonomi yang belajar serta mengajar di universitas-universitas barat, dan sebagian besar di antara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB). Sehingga mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu proses transformasi keilmuan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip syariah Islam. Sebab keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada dasarnya merupakan pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era dark ages, sehingga bukan tak mungkin ilmu yang berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan pengembangan dari pemikiran ilmuwan muslim terdahulu.
3.                  Mazhab Alternatif –kritis
            Mazhab ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dll. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang pada hakikat aslinya sudah ditemukan oleh orang lain. Mereka menghancurkan teori lama, untuk kemudian menggantinya dengan teori baru yang notabenenya sebagian telah ditemukan. Sedangkan mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi konvensional dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat. Mazhab ketiga ini merupakan mazhab yang kritis, mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap ekonomi konvensional yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Sebab ekonomi Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Al Qur’an dan Sunnah, dimana tafsiran ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran berbeda atasnya. Setiap teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya agar ekonomi Islam dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di dunia ini.

D.                Rancang Bangun Ekonomi Islam
Dalam pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu mengenai rancang bangun ekonomi Islam[27], dengan mengetahui rancang bangun ekonomi Islam kita dapat memperoleh suatu gambaran utuh dan menyeluruh secara singkat tentang ekonomi Islam. Dimana terdiri atas atap, tiang dan landasan. Diharapkan nantinya dengan mengetahui rancang bangun ini, dapat memahami lebih lanjut mengenai apa ekonomi Islam itu sendiri. Landasan terdiri atas aqidah (tauhid), adil, nubuwwa, khilafah dan ma’ad.
Aqidah (tauhid) merupakan konsep Ketuhanan umat Islam terhadap Allah SWT. Dimana dalam pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontologi tauhid, dan hal ini menjadi prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci keimanan seseorang adalah dilihat dari tauhid yang dipegangnya, sehingga rukun Islam yang pertama adalah syahadat yang memperlihatkan betapa pentingnya tauhid dalam setiap insan beriman. Oleh karenanya setiap perilaku ekonomi manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Karenanya setiap tindakan atau perilaku yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab hal tersebut akan dapat menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia baik bagi individu itu sendiri maupun bagi orang lain. Sehingga hal ini akan memunculkan tiga asas pokok yang dipegang oleh setiap individu muslim:
1.         Dunia dengan segala isinya adalah milik Allah dan berjalan menurut kehendak-Nya. Sehingga pemilik mutlak atas harta yang kita miliki hanya Allah semata, dan kita hanya sebagai pemegang amanah atas harta tersebut yang harus mengelola dengan sebaik-baiknya.
2.         Allah adalah pencipta semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-Nya. Hal ini akan memunculkan sikap rendah hati dari manusia, bahwa kita tidak layak sombong atas yang dimiliki sebab manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah semata.
3.         Iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Setiap individu muslim akan selalu memiliki dua horizon waktu dalam bertindak, yaitu horizon waktu hidup di dunia dan horizon waktu hidup di akhirat.
Adil disini mengandung makna bahwa dalam setiap aktivitas ekonomi yang dijalankan agar tidak terjadi suatu tindakan yang dapat mendholimi orang lain. Konsep adil ini mempunyai dua konteks yaitu konteks individual dan konteks sosial. Menurut konteks individual, janganlah dalam akitivitas perekonomiannya ia sampai menyakiti diri sendiri. Sedang dalam konteks sosial, dituntut jangan sampai merugikan orang lain. Oleh karenanya harus terjadi keseimbangan antara individu dan sosial. Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh insan beriman haruslah adil, agar tidak ada pihak yang tertindas. Karakter pokok dari nilai keadilan bahwa masyarakat ekonomi haruslah memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran menurut syariat Islam. Berkaitan dengan masalah perilaku ekonomi umat manusia, maka keadilan mengandung maksud:
1.             Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam, keadilan yang tidak terbatas hanya akan mengakibatkan ketidakserasian di antara pertumbuhan produksi dengan hak-hak istimewa bagi segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan melimpah dan mempertajam pertentangan antara yang kuat dan akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatan.
2.             Keadilan harus ditetapkan di semua fase kegiatan ekonomi.  Keadilan dalam produksi dan konsumsi ialah paduan efisiensi dan memberantas pemborosan. Adalah suatu kezaliman dan penindasan apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri yang melampaui batas yang ditetapkan dan bahkan sampai merampas hak orang lain.
Mungkin beberapa orang menganggap bahwa tuntunan dalam ekonomi Islam ini hanya bisa dijalankan oleh Nabi. Anggapan ini keliru, sebab ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad saw pasti benar adanya. Dengan konsep nubuwwa ini, kita dituntut untuk percaya dan yakin bahwa ilmu Allah itu benar adanya dan akan membawa keselamatan dunia dan akhirat. Serta dapat dijalankan oleh seluruh umat manusia dan bukan hanya oleh Nabi saja. Sebab ajaran Nabi Muhammad saw adalah suatu ajaran yang memiliki nilai-nilai universal di dalamnya. Sehingga prinsip-prinsip yang terkandung dalam ekonomi Islam merupakan prinsip-prinsip ekonomi universal yang dapat diterapkan oleh seluruh umat, baik oleh umat Islam maupun umat selain Islam. Sifat-sifat keteladanan Rasulullah seperti shidiq, amanah, tabligh dan fathonah mampu dilaksanakan oleh umatnya meskipun tidak akan sesempurna seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah. Namun hal ini membuktikan bahwa ekonomi Islam pun mampu dilaksanakan oleh setiap individu.
Khilafah atau berarti pemimpin, membawa implikasi bahwa pemimpin umat dalam hal ini bisa berarti pemerintah adalah suatu yang kecil namun memegang peranan penting dalam tata kehidupan bermasyarakat. Islam menyuruh kita untuk mematuhi pemimpin selama masih dalam koridor ajaran Islam. Ini berarti negara memegang peranan penting dalam dalam mengatur segenap aktivitas dalam perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi dan aturan tersebut tetap dibutuhkan, namun selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan kata lain, peran negara adalah berupaya menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan.
Ma’ad atau return, ini berarti dalam Islam pun membolehkan mengambil keuntungan dalam melakukan aktivitas perekonomian. Oleh karenanya salah besar yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak boleh mengambil keuntungan. Keuntungan merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam suatu aktivitas ekonomi. Namun yang dilarang dalam Islam adalah mengambil keuntungan yang berlebihan apalagi sampai merugikan orang banyak, misal dengan melakukan penimbunan –untuk menciptakan kelangkaan barang- untuk mendapat harga yang berlipat ganda.
Setelah membahas landasannya, sekarang kita membahas mengenai tiang dari ekonomi Islam, yang terdiri atas multitype ownership (kepemilikan multi jenis), freedom to act (kebebasan berusaha), dan social justice (kesejahteraan sosial).
Multitype ownership, Islam mengakui jenis-jenis kepemilikan yang beragam. Dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan yang diakui hanyalah kepemilikan individu semata yang bebas tanpa batasan. Sedangkan dalam ekonomi sosialis, hanya diakui kepemilikan bersama atau kepemilikan oleh negara, dimana kepemilikan individu tidak diakui dan setiap orang mendapatkan imbal jasa yang sama rata. Dalam Islam kedua-dua kepemilikan diakui berdasarkan batasan-batasan yang sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karenanya Islam mengakui adanya kepemilikan yang bersifat individu, namun tetap ada batasan-batasan syariat yang tidak boleh dilanggar –seperti akumulasi modal yang hanya menumpuk di sekelompok golongan semata-. Kepemilikan individu dalam Islam sangat dijunjung tinggi, akan tetapi tetap ada batasan yang membatasi agar tidak ada pihak lain yang dirugikan karena kepemilikan individu tersebut. Pemilikan dalam ekonomi Islam adalah:
1.      Pemilikan terletak pada kemanfaatannya dan bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
2.      Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila orang tersebut meninggal harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan Islam
3.      Pemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajat hidup orang banyak, sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara.
Economic Freedom, dalam ekonomi Islam setiap manusia bebas melakukan aktivitas ekonomi apa saja, selama aktivitas ekonomi yang dilakukan bukan aktivitas ekonomi yang dilarang dalam kerangka yang Islami. Hal ini berbeda dengan ekonomi kapitalis yang tidak terdapat pembatasan dalam kebebasan beraktivitas, sehingga terjadi kebebasan yang terlalu berlebihan bahkan menyebabkan tertindasnya pihak lain, dalam ekonomi kapitalis berlaku hukum rimba dimana yang terkuatlah yang dapat menguasai semuanya termasuk sumber daya modal dan alam. Hal ini berakibat teraniayanya hak orang lain diakibatkan kebebasan tanpa batasan. Dan tidak juga seperti ekonomi sosialis yang terlalu membatasi kebebasan beraktivitas seseorang, sehingga cenderung menghilangkan kreativitas dan produktivitas umat. Pembatasan yang terlalu berlebihan terhadap aktivitas ekonomi menyebabkan stagnasi dalam produktivitas.
Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah charitable -bukan karena kebaikan hati kita-. Dalam Islam, walaupun harta yang kita dapat berasal dari usaha sendiri secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di dalamnya. Sebab kita tidak mungkin mendapatkan semuanya tanpa bantuan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya Islam mewajibkan zakat dan voluntary sector (infak, sadaqah, wakaf, dan hibah) agar terjadi pemerataan dalam distribusi pendapatan. Namun pemerataan disini bukan berarti sama rata, sama rasa, melainkan yang sesuai dengan bagiannya. Instrumen zakat adalah salah satu instrumen pemerataan yang pertama dibandingkan dengan suatu sistem jaminan sosial di Barat. Selain itu kerjasama (cooperative) merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islami versus kompetisi bebas dari masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme.
Kerjasama ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam ekonomi Islam adalah qirad. Qirad adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Yang terakhir adalah atap dari rancang bangun ekonomi Islam itu sendiri yaitu akhlak yang menjadi perilaku Islami dalam perekonomian. Atau bisa juga dalam kaitannya dengan ekonomi bisa diartikan sebagai suatu etika yang harus ada dalam setiap aktivitas ekonomi. Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup untuk membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun harus dilengkapi dengan akhlak. Dengan akhlak ini, manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan sampai merugikan orang lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah. Akhlak yang mulia mampu menuntun umat dalam aktivitas ekonominya tidak merugikan pihak lain, misalnya dengan tidak melakukan gharar, maysir, dan riba.


Sebab teori yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuia dengan syariah sama sekali bukan jaminan secara otomatis akan memajukan perekonomian umat. Sistem ekonomi Islami hanya memastikan tidak adanya transaksi yang bertentangan dengan syariat. Kinerja ekonomi sangat tergantung pada siapa yang ada di belakangnya. Baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses dan gagalnya bisnis yang dijalankan. Dengan melihat pengertian di atas dapat kita tarik beberapa pengertian yaitu: Pertama, Ekonomi Islam sebagai ilmu adalah merupakan landasan dari rancang bangun ini. Kedua, Ekonomi Islam sebagai suatu sistem atau Sistem Ekonomi Islam adalah yang menjadi tiang dari rancang bangun. Dan Ketiga, Ekonomi Islam sebagai suatu perekonomian atau Perekonomian Islam adalah yang kita sebut sebagai atapnya.
E.     Metodologi Ekonomi Islam
Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuainnya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh.
Suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini, namun pembahasan yang ada tentang ekonomi Islam masih terbatas pada latar belakang hukumnya saja atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai sistem ekonomi.
Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari fiqih Islam yang membahas hukum dagang (fiqh muamalah) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut kemudian mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yng berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat muslim. Tidak adanya pembedaan antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam merupakan salah satu kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam, sehingga seringkali suatu teori ekonomi berubah menjadi pernyataan kembali mengenai hukum Islam. Hal lain yang tidak menguntungkan dalam pembahasan ekonomi Islam dengan fiqh muamalah adalah menyebabkan terpecah-pecahnya dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan jangka jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi. Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer di satu pihak dan di pihak lain akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.
Namun terdapat dua bahaya dalam mengkaji tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam, yaitu pertama, bahaya terlalu kaku dan taqlid antara teori dan aplikasinya, dimana terlalu kaku menggunakan patokan berdasarkan aplikasi yang terdapat pada masa terdahulu dan kurang melakukan inovasi dan pengembangan teori yang didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah serta kurang aplikatifnya teori berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya kedua ini muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan para ekonom Islam untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik. Literatur Islam yang ada sekarang mengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode, yaitu metode deduksi dan metode pemikiran retrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam dan fuqaha. Metode pertama diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.

F.     Hukum Ekonomi Islam
1.      Hakikat Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai kecenderungan suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah adalah hukum dalam arti yang sama. Tetapi, hukum-hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat dan seakurat seperti dalam hukum ilmu-ilmu pengetahuan alam (eksak). Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut: Pertama, ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus  mengendalikan banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak jumlahnya, tetapi data itu sendiri bisa berubah. Ketiga, banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman dalam karyanya Principles of Economics, “pada hakikatnya bersifat hipotetik”. Semua hukum ekonomi memuat isi anak kalimat bersyarat sebagai berikut “hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)”, yakni anggapan bahwa dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang bersamaan. Hal ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan eksperimen tanpa perlu membuat suatu asumsi. Ilmu ekonomi, tidak seperti cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya, mempunyai pengukur bersama dari motif-motif manusia dalam bentuk uang.
2.      Sumber Hukum Ekonomi Islam
Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushl fiqh. Metode pengambilan hukum atas suatu permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam metode, namun dalam buku ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits & sunnah, ijma, dan qiyas.

a.      Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi, terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat dari jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum tersebut. Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sehingga dalam setiap penarikan dan pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh seluruh umat manusia.

b.      Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah yang secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, pada pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai sahabat-sahabatnya. Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya.
Hadits dan sunnah ini hadir sebagai tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak terdapat di Al-Qur’an. Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan tafsir, dimana sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih, sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai tingkatan dari shahih, hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits mempunyai tingkatan dari mutawatir dan ahad
c.       Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum ketiga merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits serta sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
d.      Ijtihad dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas. Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual, tetapi juga dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.

G.                Kesimpulan
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta). Pola berpikir ekonomi konvensional yang tanpa nilai telah menyebabkan ilmu ekonomi ini  menjadi suatu ilmu yang digunakan untuk memenuhi tuntutan nafsu manusia semata tanpa ada aturan yang jelas, serta melegalkan terjadinya eksploitasi dalam kegiatan ekonomi yang terjadi. Kemudian tampillah beberapa mazhab ekonomi konvensional baru untuk memasukkan aspek-aspek normatif, sosial, dan institusional prilaku manusia dalam model-model ekonominya. Namun semua ini mengalami masalah karena mereka sulit untuk menemukan standar nilai yang dapat disepakati secara luas oleh seluruh kalangan.
Para ekonom muslim perlu mengembangkan suatu ilmu yang khas yang berlandaskan atas nilai-nilai iman dan Islam yang sejati. Rancang bangun ekonomi Islam terdiri atas dasar (yang terdiri atas: tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, dan ma’ad), tiang (terdiri atas multitype ownership, freedom to act, dan social justice), dan terakhir adalah atapnya yaitu akhlak.



[1] Karl E Case dan Ray C Fair . Prinsip-prinsip Ekonomi Mikro. Penerjemah Benyamin Molan (Jakarta: Pearson Education Asia), h. 8.
[2] Ibid., h. 8
[3]Mohamed Asalam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis, Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., 1995, h. 11 
[4] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, h. 149. Penulis buku ini mengkompilasi dari sumber M.N. Siddiqi (1995), M. Aslam Haneef (1995), Adiwarman Karim (2001)
[5]M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4
[6] Monzer Kahf, The Islamic Economy, Plainfield: Muslim Student Association (US-Canada), 1978, h. 18.
[7]Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical  Study of  the Functioning od the Islamic Economic System, (T.tt.: Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada, 1978), h. 16. Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005, h.275. 
[8]M. Umar Chapra,  The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001
[9]Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic Economics, Vol 1 No. 2, 1984.
[10]Muhammad N. Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature. Jeddah and The Islamic Foundation, 1981.
[11]Syed Nawab Haider naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami,  Bandung : Mizan, 1985
[12] M. Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice., Delhi.Sh. M. Ashraf, 1970. Lihat juga M.A Mannan, The Making of an Islamic Economic Society, Cairo, 1984.
[13]M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995
[14] ibid.
[15] Tim P3EI UII dan BI, Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafindo Pers, 2008), h. 32.
[16]Terhadap permasalahan ini antara lain dibahas oleh  M. A. Mannan , “The Behaviour of Firm and Its Objectives in an Islamic Framework”, dalam Tahir, Sayyed (at al, ed.) Readings in Microeconomics: an Islamic Perspective (Malyasia: Longman,1992).  dan Metwally, Essays on Islamic Economics (Kalkuta: Academic Publishers, 1993). Lihat  Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Edisi Pertama (Jakarta: PT Bangkit Insani, 1997). LIhat juga M. Umar Chapra, The Future of Economics; an Islamic Perspectif (Leicester UK: Islamic Foundation, 2001).
[17] Ketika prilaku rasional ekonomi diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan materi semata, maka perilaku etis dipandang sebagai perilaku yang tidak rasional dan karenanya dikeluarkan dari pokok bahasan ilmu ekonomi.Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi pelaku ekonomi yang rasional Islami berdasarkan masla­hah. Oleh karena itu, standar moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan bukan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan sosial. Moralitas Islam ini tidak diposisikan sebagai suatu batasan ilmu ekonomi, justru sebagai pilar atau patokan dalam menyusun ekonomi Islam.
[18] Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi, Jakarta: al Ishlah Press & STEI, 2009, h. 112-113.
[19] Mausudul Alam Choudury, Contributions to Islamic Economic Theory, New York : St Martin’s Press, 1988, 59-61.
[20]M. A. Mannan, Op. Cit
[21]Monzer Kahf, Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
[22]M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, terjemahan Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
[23] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi,Cet. 18 (Jakarta:  RajaGrafindo Persada, 2002), h. 5.
[24] Boediono. Ekonomi Mikro Cet. 18 (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1996), h. 7
[25] Ibid, h. 14
[26] Adiwarman A Karim. Ekonomi Mikro Islami. IIT-Indonesia. 2002, hal. 13
[27] Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami. IIT-Indonesia, 2002, hal. 17