BAB 1
FILOSOFI DASAR EKONOMI ISLAM
A.
Pendahuluan
Sistem ekonomi dunia yang saat
ini bersifat sekuler -dimana terjadi dikotomi antara agama dengan kehidupan
duniawi termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi- telah mulai terkikis.
Terjadinya dikotomi ini terjadi pada masa kegelapan (dark ages) yang
terjadi di Eropa, dimana pada masa tersebut kekuasaan gereja Katolik sangat
dominan. Sehingga hal ini menimbulkan pergerakan yang berupaya untuk mengikis
kekuasaan gereja yang terlalu besar pada masa itu. Pergerakan inilah yang pada
akhirnya memunculkan suatu aliran pemikiran bahwa harus terjadi suatu pembedaan
atau pembatasan antara aktivitas agama dengan aktivitas dunia, sebab munculnya
pemikiran keilmuan seringkali dianggap bertentangan dengan doktrin gereja pada
masa itu.
Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak
mengenal pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi. Hal ini terbukti
bahwa pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru
terjadi masa keemasan dan kejayaan Islam. Dimana terjadi pembaharuan dan
perkembangan pemikiran oleh para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan
pengembangan keilmuan sampai saat ini, seperti ilmu aljabar.
Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh dunia terutama
oleh para generasi muda muslim, sehingga generasi muda muslim saat ini
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Barat pada waktu dark
ages –yaitu melakukan dikotomi
antara aktivitas spiritual dan aktivitas duniawi- yang justru membuat
Islam semakin redup cahayanya. Karena Negara Barat semakin maju ketika jauh
dari ajaran agamanya, sementara umat Islam akan semakin tertinggal ketika
meninggalkan agamanya.
Ilmu ekonomi adalah suatu disiplin ilmu yang
menerangkan tentang proses pengambilan keputusan dalam mengalokasikan
kelangkaan sumber daya dalam pemenuhan kegiatan produksi dan aktivitas konsumsi
dalam rangka menciptakan suatu kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Ilmu ekonomi
dibagi dalam dua cabang utama, yaitu mikroekonomi dan makroekonomi.
Mikroekonomi menangani perilaku satuan-satuan ekonomi individual termasuk di
dalamnya dalam pengambilan keputusan dalam rangka untuk mengatasi permasalahan
alokasi akibat kelangkaan sumber daya. Satuan-satuan ini mencakup konsumen,
pekerja atau buruh, para penanam modal, pemilik tanah, perusahaan bisnis
–intinya setiap individu atau entitas memainkan peranan dalam berfungsinya
suatu perekonomian. Mikroekonomi menjelaskan cara dan alasan-alasan satuan ini
membuat keputusan-keputusan ekonomis. Bidang lain yang penting dari
mikroekonomi adalah bagaimana satuan-satuan ekonomi berinteraksi untuk
membentuk satuan-satuan yang lebih besar –pasar dan industri[1].
Sementara
makroekonomi, cabang utama lain dari ekonomi menangani kepada isu-isu yang
bersifat makro atau lebih luas lagi[2], termasuk di dalamnya
mengenai jumlah agregat ekonomi, seperti tingkat dan laju pertumbuhan produksi
nasional, suku bunga, pengangguran dan inflasi. Tetapi pembatasan antara
makroekonomi dan mikroekonomi sudah semakin pudar belakangan ini. Analisis
mikroekonomi selalu dimulai dengan pemahaman mengenai kelembagaan dalam
ekonomi, termasuk di dalamnya hukum, yang mampu menjelaskan prilaku produsen
dalam mengalokasikan sumber dayanya. Para produsen itu pada akhirnya akan mampu
mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan, namun para konsumen tersebut
memiliki batasan dalam melakukan pilihannya.
Dengan
mempelajari mengenai aspek kelembagaan dalam ekonomi, kita akan belajar
mengenai keterbatasan yang dihadapi oleh individu dalam mengambil keputusan
yang akan mampu mempengaruhi mereka dalam mengalokasikan sumber dayanya. Untuk
memahami apa pilihan mereka, kita harus mampu mengerti apa yang menjadi motif
mereka dalam mengambil keputusan ekonominya. Mikroekonomi selalu mengasumsikan
bahwasanya motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonominya oleh
kepentingan pribadi yang bersifat materi –yaitu nafsu dalam memiliki suatu
produk baik barang maupun jasa-, sehingga asumsi awal dalam mikroekonomi
konvensional adalah kepentingan pribadi yang bersifat materi inilah yang
menjadi motif utama manusia dalam melakukan aktivitas ekonominya. Meskipun ilmu
mikroekonomi mamou mengakomodasi kepentingan lainnya termasuk kemungkinan
kepedulian kita dengan kesejahteraan sesama.
Dalam konteks skenario ekonomi masa kini
di satu sisi ditandai oleh adanya kompetisi, efisiensi, pragmatisme dan
transparansi, di pihak lain model saling ketergantungan (cooperation)
antar manusia atau lembaga semakin kompleks dan bervariasi. Dalam kondisi ini,
ada persoalan besar dan sangat mendasar yaitu paradigma ilmu ekonomi yang ada
ternyata tidak mampu memecahkan problem ekonomi yang dihadapi manusia.
Teori-teori ekonomi yang ada terbukti tidak mampu mewujudkan ekonomi global
yang berkeadilan dan berkeadaban. Malah yang terjadi adalah dikotomi antara
kepentingan individu, masyarakat, negara serta hubungan antarnegara. Selain itu, teori ekonomi yang ada saat ini
tidak mampu menyelesaikan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Juga tidak
mampu menyelaraskan hubungan antar regional di suatu negara, antara
negara-negara di dunia terutama antara negara-negara maju dengan negara
berkembang dan terbelakang. Lebih parahnya lagi adalah terabaikannya
pelestarian sumber daya alam (non renewable resources). Untuk itu, tidak heran jika belakangan banyak
muncul kritik dari pakar ekonomi itu sendiri.
Ilmu ekonomi adalah suatu ilmu
sosial yang menaruh perhatian berkaitan dengan prilaku manusia dan sebagai
suatu ilmu maka ketika mempelajari tentang prilaku manusia para ekonom
menggunakan langkah-langkah ilmiah, yaitu:
a.
Observasi awal
Suatu
metode ilmiah selalu mengawali dengan observasi atas suatu fenomena yang
terjadi, sehingga mampu melahirkan suatu pertanyaan dalam observasi tersebut
yang menarik untuk dibahas terutama berkaitan dalam penjelasan mengenai
aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu.
b.
Merumuskan teori
Setelah
melakukan observasi awal tersebut, maka seorang ilmuwan akan mampu menjelaskan
secara logis atas fenomena yang diamati dan ini dinamakan dengan teori.
c.
Identifikasi implikasi dan dampak
Namun
tidaklah cukup suatu teori hanya mampu menjelaskan kejadian yang diamati, namun
seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi implikasi dan dampak yang dapat
ditimbulkan dari teori tersebut.
d.
Observasi lanjutan dan pengujian
Untuk
membuktikan apakah suatu teori atau valid adalah dengan melakukan observasi
lanjutan dan pengujian. Hal ini untuk membuktikan bahwa teori yang telah
disusun dapat diberlakukan secara umum.
e.
Merumuskan kembali teori
Setelah
pengujian maka ilmuwan akan mampu merumuskan dan menyempurnakan teori atas
fenomena yang dijelaskan, sehingga dapat diaplikasikan dalam menjelaskan
aktivitas yang diamati.
Seorang ekonom
akan memformulasikan teorinya dalam sebuah model, yaitu penjelasan sederhana
mengenai suatu fenomena. Seorang ekonom akan banyak bekerja dengan model atau
persamaan matematis. Hal ini dikarenakan sebagian besar keputusan ekonomi
adalah bersifat kuantitatif. Model matematis akan mampu memberikan keakuratan
dalam menganalisis aktivitas atau fenomena ekonomi yang tengah terjadi.
Hal mendasar
dalam memformulasikan suatu teori adalah penyederhanaan asumsi. Para ekonom
dalam merumuskan teorinya selalu mendasarkan pada suatu asumsi, sehingga suatu
asumsi dapat beralasan dalam menjelaskan suatu fenomena namun pada saat yang
lain tidak mampu menjelaskan. Namun penyederhanaan asumsi diperlukan dalam
membentuk suatu teori dasar atas fenomena yang diamati.
B.
Definisi Ekonomi Islam
Wacana mengenai penerapan ekonomi Islam dalam aktivitas ekonomi sehari-hari
telah dimulai di Indonesia pada decade 1970-an, namun tonggak utama
perkembangan ekonomi Islam adalah dengan berdirinya salah satu bank syariah
pada tahun 1992. Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya
menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin, dimana Islam memiliki nilai-nilai universal yang mampu masuk ke
dalam setiap sendi kehidupan manusia tidak hanya aspek spiritual semata namun
turut pula masuk dalam aspek duniawi termasuk di dalamnya dalam aktivitas
ekonomi masyarakat.
Ekonomi Islam yang tengah berkembang saat ini baik tataran teori maupun
praktik merupakan wujud nyata dari upaya operasionalisasi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dengan melalui
proses panjang dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Perkembangan teori ekonomi Islam telah dimulai pada masa Rasulullah dengan turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ekonomi seperti QS Al-Baqarah ayat
275 dan 279 tentang jual beli dan riba; QS Al-Baqarah ayat 282 tentang
pencatatan transaksi muamalah; QS Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS Al-A’raf
ayat 31, An-Nisaa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan
pembelanjaan harta; serta masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan tentang
berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. Ayat-ayat di atas ini memperlihatkan
bahwa Islam pun telah menetapkan pokok aturan mengenai ekonomi meskipun pada
masih bersifat umum dan praktik implementasi di lapangan akan saling berbeda
antar generasi dan jaman.
Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini belum ada
kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam. Terdapat perbedaan
penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun dalam membentuk konsep
ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan,
keahlian, dan pengalaman yang dimiliki.[3] Merujuk
pendapat Aslem Haneef, seorang
pemikir ekonomi Islam Malaysia para pemikir muslim di bidang ekonomi dikelompokkan dalam tiga kategori : pertama,
pakar bidang fiqih atau hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah
legalistik dan normatif; kedua, kelompok modernis yang lebih berani
dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam agar dapat menjawab
persoalan yang dihadapi masyarakat kini; ketiga para praktisi atau
ekonom muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat. Mereka mencoba
menggabungkan pendekatan fiqih dan ekonomi sehingga ekonomi Islam
terkonseptualisasi secara integrated dengan kata lain mereka berusaha
mengkonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional tetapi dengan
mereduksi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan nilai
Islam pada analisis ekonominya.
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang
dapat dibagi menjadi 6 tahapan[4].
Tahap pertama (632-656 M), yaitu pada
masa Rasulullah SAW. Tahap kedua
(656-661 M), yaitu pemikiran ekonomi Islam pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin. Tahap ketiga (738-1037 M), yaitu para pemikir Islam di periode
awal seperti Zayd bin Ali, Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu Ubayd, Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina dan pemikir ekonomi Islam lainnya pada periode awal.
Tahap
keempat atau periode kedua (1058-1448 M). Pemikir ekonomi Islam periode ini
Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Mas’ud, Jalaluddin Rumi, Ibnu
Rusyd dan pemikir ekonomi Islam lainnya yang hidup pada masa ini. Tahap kelima atau periode ketiga
(1446-1931 M), yaitu Shah Waliyullah Al-Delhi, Muhammad bin Abdul Wahab,
Jamaluddin Al-Afghani, Mufti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ibnu Nujaym, Ibnu
Abidin, Syekh Ahmad Sirhindi. Tahap
keenam atau periode lanjut (1931 M – sekarang), yaitu Muhammad Abdul
Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qardhawi, Syed Nawab Haider Naqvi, Monzer
Khaf, Muhammad Baqir As-Sadq, Umer Chapra dan tokoh ekonomi Islam pada masa
sekarang.
Dawam Rahardjo[5],
memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan pemaknaan, pertama
yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi
yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud
ekonomi Islam adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan
kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau
metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam
pengertian perekonomian umat Islam.
Beberapa definisi dan pengertian Ekonomi Islam telah dikemukakan oleh para pakar yang
mengembangkan keilmuan ini. Dapat disebutkan di sini antara lain, Monzer Kahf
dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa ekonomi adalah subset
dari agama. Kata Ekonomi Islam sendiri difahami sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada al Quran dan
Sunnah.[6]
Menurut Kahf pula,[7]
ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner
dalam arti kajian ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri tetapi perlu
penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu
pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis
seperti matematika, statistik, logika, ushul fiqh.
Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan
oleh para pakar ekonomi Islam kontemporer lainnya seperti: 1) Umar Chapra[8], Ilmu
ekonomi Islam adalah suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang
langka yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk
menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkesinambungan,
membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan moral masyarakat; 2) S.M. Hasanuzzaman[9]: “Ilmu
ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan aturan syari’ah
yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material
sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah
Allah dan masyarakat.; 3) M. Nejatullah Siddiqi[10]
mendefisinisikan: “Ilmu ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim
terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan Qur’an dan
Sunnah, akal dan pengalaman.”; 4) Syed Nawab Haider Naqvi[11]: “ Ilmu
ekonomi Islam adalah perwakilan perilaku kaum muslimin dala suatu masyarakat
muslim tipikal”. Tidak jauh berbeda dengan pemikir lainnya, Muhammad Abdul Manan (1992)[12]
berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam
dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia
mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan
lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Dalam kaitan
ini, M.M. Metwally (1995)[13]
mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang mempelajari perilaku muslim
dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Quran, As-Sunnah, Qiyas dan
Ijma. M.M. Metwally (1995)[14]
memberikan alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat
dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam
disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena
itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang
sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan
ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan
berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks
kemaslahatan bersama.
Ilmu Ekonomi Islam memiliki akar teologi, tetapi ia bukanlah kajian yang
mendalam tentang teologi dan memang bukan bagian dari teologi. Ilmu ekonomi
Islam memiliki hubungan yang erat dengan fiqh dan perundang-undangan
Islam (syari’ah dan tasyri’) terutama subyek yang berkaitan
dengan hubungan antara manusia (muamalah). Akan tetapi, ia bukanlah ilmu
fiqh. Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi dan keprihatinan utamanya
adalah problema-problema ekonomi dan institusinya. Dalam perspektif ini ia
seharusnya dipandang sebagai suatu disiplin akademik. Secara umum ekonomi Islam
didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang,
meneliti, dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara
Islami berdasarkan al Quran dan Sunnah. Ilmu ekonomi Islam tidak mendikotomikan
antara aspek normatif dan positif.[15]
Dalam pandangan positivisme ekonomi hanya mempelajari perilaku ekonomi yang
terjadi dan memisahkan dari aspek norma dan etika. Memasukan aspek etika
dipandang sebagai sesuatu yang normatif.
Ekonomi Islam mempelajari apa yang terjadi pada individu dan masyarakat
yang perilaku ekonominya diilhami oleh nilai-nilai Islam. Berikut
argumentasi yang dikembangkan oleh para pemikir ekonomi Islam terkait hal
tersebut[16]: Pertama,
ilmu ekonomi Islam syarat dengan nilai-nilai. Ilmu ekonomi Islam jelas akan
melakukan fungsi penjelasan (eksplanatori) terhadap suatu fakta secara
obyektif. Ia juga melakukan fungsi prediktif seperti yang dilakukan oleh ilmu
ekonomi konvensional. Dalam menjalankan kedua fungsi ini, ia menjalankan fungsi
utama sains secara positif atau menjelaskan “apa” (what is). Namun
kiprahnya tidak hanya terbatas pada aspek positif berupa penjelasan dan
prediksi saja. Pada tahapan tertentu ia juga harus melakukan fungsi normatif,
menjatuhkan penilaian (value judgement) dan menjelaskan apa yang
seharusnya (what should be). Ini berarti bahwa ilmu ekonomi Islam
bukanlah value-neutral. Ia memiliki seperangkat nilainya tersendiri,
kerangka kerja nilai-nilai dimana dia beroperasi. Karena itulah maka reformasi
ekonomi Islam tidak dapat dilakukan secara isolasi atau parsial, ia hanya dapat
dilakukan dalam konteks Islamisasi masyarakat secara total.
Kedua, dalam kerangka ini, hubungan-hubungan teknis akan
dipelajari dan dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan mashlahat dan
tetap dalam konteks suatu kerangka nilai.[17]
Dengan demikian ilmu ekonomi Islam tidak hanya berbicara tentang bagaimana
perilaku manusia ekonomi itu (economic man) dalam lapangan ekonomi,
tetapi juga bagaimana suatu disiplin
normatif dapat diimplementasikan dan diinjeksikan ke dalam diri manusia
sehingga sasaran yang hendak diinginkan Islam dapat diwujudkan. Ketiga,
karena citranya yang demikian itulah maka dalam kerangka kerja ini terdapat peran
kebijakan dari sektor pemerintah terhadap perilaku manusia agar tetap
berada pada arah realisasi dan pemenuhan akan nilai-nilai tersebut. Hal ini
menjadikan lingkup kajian ilmu ekonomi Islam lebih luas dan komprehensif. Lebih
komprehensif karena ia bukan hanya
berbicara tentang motif tetapi juga perilaku, lembaga dan kebijakan. Ia
mempelajari perilaku manusia seperti apa adanya, namun ia juga memiliki suatu
visi tertentu di masa yang akan datang dimana perilaku manusia harus diarahkan
kepadanya. Pendekatan demikian merupakan ciri menonjol dari ilmu ekonomi Islam.
Dengan demikian
upaya untuk memajukan ekonomi, memproduksi barang dan jasa dalam kegiatan
produksi, dan mengkonsumsi hasil-hasil produksi serta mendistribusikannya,
seharusnya berpijak kepada ajaran agama. Artinya, apabila kita mengacu pada
ajaran Islam, tujuan hidup mardatillah
harus mendasari (mengilhami dan mengarahkan) konsistensi antara niat (li Allah ta ala) dan cara-cara untuk
memperoleh tujuan berekonomi (kaifiat).[18] Dalam pengertian tersebut Ilmu ekonomi Islam
adalah juga suatu upaya yang sistematis mempelajari masalah-masalah ekonomi dan
perilaku manusia dan interaksi antara keduanya. Upaya ilmiah itu juga mencakup
masalah pembangunan suatu kerangka kerja ilmiah untuk membentuk pemahaman
teoritis (theoritical understanding), rekayasa institusi yang diperlukan
dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan
konsumsi yang dapat membantu memenuhi kebutuhan manusia secara optimal dan
ideal. Batasan ini masih bersifat tentatif namun jelas memberikan gambaran yang
tegas bahwa ilmu ekonomi Islam adalah studi tentang problem-problem ekonomi dan
institusi yang berkaitan dengannya.
Bila dipelajari ajaran-ajaran Islam di
bidang ini, dapat disimpulkan beberapa point yang sangat penting sebagai
petunjuk untuk membangun disiplin ini. Pertama, Islam memberikan
petunjuk tentang adanya seperangkat tujuan dan nilai-nilai dalam kehidupan
perekonomian. Kedua, Islam memberikan kepada manusia sikap
psikologis dan satu spektrum yang mengandung motif-motif dan insentif. Islam
juga memasok prinsip-prinsip hubungan perekonomian. Pokok-pokok petunjuk di
atas merupakan hasil inferensi yang dipetik dari ruh ajaran Islam.
Mengacu pada
pemikiran Choudhury (1998) disepakati bahwa epistemologi fundamental ekonomika
Islami didasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan “the
primordial stock of knowledge” sehingga disebut sebagai tauhidi
epistimologi. Runtun proses bagaimana
implementasi epistemologi Tauhidi ke dalam tata aturan kehidupan ditempuh
melalui ijtihad terekam dalam Qiyas maupun Ijma, dan juga pemikiran kontemporer
dari pemikir Muslim hingga saat ini Karakter dari epistimologi Tauhidi
ialah (a) premis aksiomatiknya tidak berubah, (b) tidak dapat dipecah-pecah,
(c) dalam kesatuan dan sempurna, dan (d) dapat diimplementasikan secara
universal kepada semua sistem, karena merupakan kesatuan (unity), maka
derivasinya adalah persatuan (unification) dari “the primordial stock
of knowledge”. Aksioma yang
dimaksud diturunkan dari
Al Qur’an, yakni bahwa
Allah SWT adalah Maha Pencipta yang dengan 99 sifat-sifat-Nya
memanifestasikan kemuliaan-Nya atas ciptaan-Nya. Oleh karena itu, manusia
sebagai khalifah di muka bumi harus juga memanifestasikan sifat-sifat-Nya ke
dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, manusia dibekali amanah untuk
berkebebasan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya, menciptakan dan menjaga
kehidupan dunia dan akhirat secara berkeseimbangan, dan bertanggungjawab atas
pekerjaannya itu baik di dunia dalam rangka bermuamalat maupun di akhirat pada
hari pembalasan. Format berkehidupan seperti ini disebutkan sebagai tujuan mardhatillah.
Inilah butir-butir iman yang masuk ke dalam aksioma al-iqtishad
(ekonomi).
Berdasar atas pertimbangan tersebut di atas, teori, model dan sistem
ekonomi Islam -sebagai alternatif teori ekonomi yang telah mati- harus
didasarkan pada aksiomatik etika Islam yang dirangkum dalam Tauhid, Kebebasan,
Keseimbangan, dan Pertanggungjawaban dari setiap individu. Mengacu pada
pemikiran Choudury (1998) tentang prinsip-prinsip Ekonomika Islami adalah : (1)
Tauhid dan Ukhuwwah, (2) Kerja dan Produktivitas, dan (3) Keadilan Distributif
. Sebagai khalifah di bumi, manusia berkewajiban untuk memanfaatkan bumi dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya yang serba berkecukupan itu untuk
sebesar-besar kemaslahatan ummat, bukan untuk orang seorang, karena setiap
insan beriman bahwa pemilikan mutlak adalah pada Allah swt. Untuk itu, ia harus
bekerjasama dengan sesama seraya memohon bimbingan Allah. Hubungan dengan Allah
dan dengan sesama dalam keseharian kerja inilah yang menjadikan suatu hasil
kerja dapat disebut sebagai bermanfaat. Pemanfaatannya tidak sekedar berkisar
pada tematik alokasi sumber daya yang optimal, pertukaran antar barang dan jasa
melalui pasar, dan memaksimumkan laba, tetapi yang lebih penting dari itu semua
adalah keadilan sosial.
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan
konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an
dan Sunnah adalah:
1.
Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan
masyarakat.
2.
Memastikan kesetaraan kesempatan untuk
semua orang
3.
Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan
dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi pendapatan dan kekayaan di
masyarakat.
4.
Memastikan kepada setiap orang kebebasan
untuk mematuhi nilai-nilai moral
5.
Memastikan stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi
Kerangka institusional suatu masyarakat
Islam yang diajukan oleh M.Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya “Teaching Economics in An Islamic Perspective”
adalah:
1.
Meskipun
kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam Islam diperkenankan
suatu kepemilikan pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban dengan sesama dan
batasan-batasan moral yang diatur oleh syariah.
2.
Kebebasan
untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap mendapatkan
batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini kompetisi yang
berlangsung haruslah persaingan sehat.
3.
Usaha
gabungan (joint enterprise) haruslah
menjadi landasan utama dalam bekerjasama, dimana sistem bagi hasil dan
sama-sama menanggung risiko yang mungkin timbul diterapkan.
4.
Konsultasi
dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan
publik.
5.
Negara
bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur individu dalam setiap
keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam.
Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi
Islam adalah
1.
Peranan positif dari negara, sebagai
regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh orang lain.
2.
Batasan moral atas kebebasan yang
dimiliki, sehingga setiap individu dalam setiap melakukan aktivitasnya akan
mampu pula memikirkan dampaknya bagi orang lain.
3.
Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini
mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus
dilaksanakan.
4.
Usaha untuk selalu bermusyawarah dan
bekerja sama, sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Pesatnya perkembangan lembaga keuangan
syari’ah memberi angin segar bagi maraknya kegiatan ilmiah berbasis Ekonomi
Islam yang dilakukan, terutama oleh kalangan akademisi Perguruan Tinggi Umum
maupun Islam, hal ini juga menunjukkan semakin meningkatnya apresiasi umat
Islam terhadap upaya penegakkan syari’ah dalam bidang ekonomi atau upaya
artikulasi nilai-nilai Islam dalam ruangan ekonomi. Bahkan saat ini beberapa
perguruan tinggi telah menjadikan ekonomi Islam sebagai objek kajian (subjek
matter) baik dalam bentuk program studi maupun konsentrasi. Ada semacam
justifikasi sosial atas kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi konvensional
yang selama ini dijalankan, sekaligus menumbuhkan kuriositas umat Islam,
khususnya, untuk lebih memahami Ekonomi Islam. Bahkan bagi sebagian kelompok
masyarakat muslim ada semacam tuntutan untuk menemukan kembali khazanah Islam
yang sempat terlupakan dalam bidang ekonomi.
Maraknya kajian-kajian tentang ilmu
ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari fenomena kebangkitan kembali kepada
ajaran-ajaran Islam yang orisinil (Islamic Resurgance) di seluruh dunia
Islam bahkan di kawasan minoritas Muslim. Kebangkitan Islam yang melanda hampir
di seluruh dunia kini tengah mencari suatu tatanan baru yang jangkauannya tidak
hanya pada aspek ideologis, moral, kultural dan politik saja, namun juga pada
aspek ekonomi. Penggerak utama di balik kebangkitan ini adalah keinginan untuk
merekontruksi struktur masyarakat dan perekonomiannya dengan mengadopsi
nilai-nilai keimanan, agama dan tradisi sejarah mereka.
Sistem menyangkut pengaturan, seluruh perangkat
keorganisasian, institusi dan prinsip-prinsip yang berhubungan tentang
bagaimana masyarakat mencapai tujuan materialnya. Spesifikasinya, sistem ekonomi harus
mempunyai persyaratan, yaitu: (a) ia harus mengidentifikasi institusi tertentu
yang menopang format dimana kegiatan ekonomi berlangsung, (b) tujuan dari
kegiatan ekonomi ingin dicapai, dan (c) sarana-sarana dan proses melalui
kelengkapan ini tujuan dapat dicapai. Dalam kaitan ini dapat dilihat tulisan
tentang Islamic concept of ownership oleh Mohammad Sakr, Islamic economic system oleh Sultan Abu Ali, dan Distributive Justice in Islam oleh Mohammad Anas Zarqa. Fokus pertama
mencakup filosofi dan tatanan institusi dalam sistem ekonomi Islam, yang kedua
melihat secara rinci elemen-elemen dari sistem dan bagaimana memfungsikannya,
sedangkan yang ketiga menganalisis tujuan sistem ekonomi Islam dan sarana
pencapaiannya dalam kerangka Syariah. Daya jangkau lapangan ini meliputi
persoalan kepemilikan; individu, bersama dan negara, kebebasan bertransaksi,
kesejahteraan sosial serta hubungan si Kaya dan si Miskin. Pelaku utama dalam
lapangan ini adalah pemerintah melalui regulasi dan perundang-undangan.
Setiap
sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem
ekonomi Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan-pandangan
yang benar terhadap hakekat manusia. Sistem-sistem yang ada memiliki filosofi
yang berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari muara yang sama yaitu
materialisme.
Kelompok materialisme hanya memandang manusia dari
sudut keuntungan fisik semata sehingga tidak utuh dan tidak seimbang, maka akan
mendorong dan menggiring manusia ke arah paham kebendaan dan hedonisme.
Sedangkan ekonomi Islam dengan mengikuti pemikiran yang ditawarkan Prof.
Choudhury, didasarkan atas prinsip : Tauhid (norma/moral Islam), persaudaraan
(brotherhood), kerja dan produktivitas (work and productivity), distribusi pendapatan dan kekayaaan yang merata ( distributive equity), kerjasama (cooperation), organisasi (organization)/ institusi Islam (islamic institutionalism).[19] Prinsip tersebut teraplikasikan ke dalam sistem ekonomi Islam. Beberapa
karakteristik sistem ekonomi Islam menurut para pemikir ekonomi Islam seperti
M.A Manan [20] dan Monzer Kahf[21], setidaknya meliputi: a) mengakui kepemilikan individu dan kolektif dalam
konteks kemaslahatan; b) tiadanya transaksi berbasis bunga dan mengunggulkan sistem bagi hasi /profit anda loss sharing
seperti dalam mudharabah atau musyarakah, c) berfungsinya institusi zakat
sebagai salah satu sarana distribusi, d)
mengakui mekanisme pasar, e) perlu adanya peranan negara atau pemerintah dalam
fungsinya sebagai regulator dan supervisi.
Umar Chapra[22], merinci beberapa fungsi yang harus dilakukan pemerintah negara Islam
yaitu : a) memberantas kemiskinan, b) menciptakan kondisi full employment dan pertumbuhan yang tinggi, c) menjaga stabilitas nilai real uang, d)
menegakkan hukum dan ketertiban, e) menjamin keadilan sosial dan ekonomi, f)
mengatur jaminan sosial dan mendorong distirbusi pendapatan dan kekayaan yang
adil, g) mengharmoniskan hubungan internasional dan menjaga pertahanan negara.
Demikian beberapa karakteristik ekonomi Islam yang
pada gilirannya akan membentuk tahapan ketiga yang disebut sebagai perekonomian
umat Islam. Ketiga, Ekonomi Islam sebagai “Perekonomian umat Islam” atau lebih tepat
“Perekonomian Dunia Islam”. Wilayah ini menjadi objek pola laku umat Islam
sebagai pelaku ekonomi. Prinsip yang dikembangkan lebih ditekankan pada kinerja
unit ekonomi umat Islam. Lapangan ini menjadi arena umat Islam yang menjadi
pelaku utamanya. Perubahan masyarakat dari satu sistem nilai ke sistem nilai
baru merupakan proses panjang, diperlukan strategi dan keinginan kuat dari
seluruh pihak, sehingga ekonomi Islam kehadirannya memang dibutuhkan oleh
masyarakat dan bukan sesuatu yang mengada-ada atau dipaksakan.
Penegakkan pada salah satu level saja tidak akan
menghasilkan tegaknya syari’ah Islam dalam bidang ekonomi. Teori ekonomi Islam
yang kuat tanpa diterapkan menjadi sistem hanya akan menjadikan ekonomi Islam
sebagai kajian ilmu belaka tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Dengan
demikian diperlukan adanya upaya yang sinergi pada ketiga level tersebut dengan
melibatkan seluruh komponen dalam rangka menegakkan syari’ah Islam dalam bidang
ekonomi. Selain para praktisi, ulama, dan organisasi sosial keagamaan, peran
para akademisi juga menjadi sangat strategis dalam upaya membangun,
mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia.
Kegiatan pemikiran
ekonomi di dunia Islam setidaknya mengambil dua pola. Pertama adalah
pola ideal yakni sistem ekonomi Islam yang lebih komprehensif dan holistik
sebagai agenda jangka panjang dan hal ini diupayakan secara terus-menerus. Kedua
adalah pola pragmatis yaitu mengembangkan sistem yang bersifat parsial dan satu
aspek saja, dalam hal ini lembaga keuangan syariah (perbankan syariah). Di Indonesia, realitas menunjukkan bahwa
perkembangan pemikiran ekonomi Islam dimulai melalui pola kedua,
sehingga tidak heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih
cepat daripada pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang
lebih komprehensif, sehingga wajar keterbatasan sumber daya insani yang
memahami secara baik aspek ekonomi dan syariah menjadi tantangan yang harus
dihadapi dalam rangka pengembangan ekonomi
Islam. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan lembaga keuangan
syariah itu sendiri merupakan pintu masuk bagi para pemikir muslim Indonesia
untuk lebih mendalami ekonomi Islam dalam kerangka ilmu dan sistem. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang
pada mulanya hanya merupakan diskusi
teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang tumbuh dan berkembang. Bahkan, saat ini industri perbankan syariah telah
bertransformasi dari hanya sekedar bank alternatif dengan sistem syariah
menjadi bank yang mampu memainkan peranannya dalam percaturan ekonomi dunia.
Bank syariah semestinya tumbuh subur di Indonesia yang mendasarkan kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan Pancasila dan konstitusi yang menghendaki adanya
ekonomi yang berkeadilan.
Menurut Sri Edi Swasosno, Ekonomi Syariah
adalah sejalan dengan Ekonomi Pancasila dan bersifat compatible meski
tidak sepenuhnya substitutable, untuk itu ekonomi syariah tidak boleh
direduksi hanya dengan memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah.
Ekonomi syariah harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory
secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang
membiarkan terjadinya trade off secara sistemik, yang subordinatif
dan diskriminatori, yang membiarkan berkembangnya laissez faire
dalam arti luas.
Untuk itu perbankan syariah diharapkan
mampu memainkan perannya yang strategis terutama dalam mendukung perekonomian
nasional terutama upaya memperkuat usaha masyarakat sehingga keadilan
distributif dapat terwujud dalam tempo yang tidak terlalu lama. Perjuangan yang
selayaknya dilakukan oleh para penggerak ekonomi syariah adalah mewujudkan suatu
sistem yang berdasarkan konsep penafian sistem bunga dalam trasaksi bisnisnya,
mengembalikan uang pada fungsinya sebagai media penukaran bukan menjadikannya
sebagai komoditas, pengembangan syirkah dan trasaksi syariah lainnya dalam
membentuk pola hubungan yang partisipatif dan egaliter bukan eksploitatif.
Perbankan syariah ataupun lembaga keuangan syariah adalah salah satu dan bukan
satu-satunya institusi yang dapat menerapkan konsep tersebut.
C.
Permasalahan Utama dalam Ekonomi
Ekonomi merupakan studi tentang manusia, dimana terjadi pertentangan antara
kebutuhan dan keinginan manusia yang sifatnya tidak terbatas berbenturan dengan
kapasitas sumber daya yang terbatas. Oleh karenanya ekonomi hadir tentang
bagaimana menggunakan atau mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi yang
terbatas jumlahnya tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebaik-baiknya.
Sehingga yang menjadi masalah pokok dalam suatu sistem ekonomi adalah masalah
kelangkaan (scarcity). Kebutuhan
manusia meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, keamanan,
kebutuhan sosial serta kebutuhan individu akan pengetahuan dan suatu keinginan
untuk mengekspresikan diri. Sementara keinginan adalah bentuk kebutuhan manusia
yang dihasilkan oleh budaya dan kepribadian individual. Manusia mempunyai
keinginan yang nyaris tanpa batas tetapi sumber dayanya terbatas. Jadi mereka
akan memilih produk yang memberi nilai dan kepuasan paling tinggi untuk uang
yang dimilikinya. Dengan keinginan dan sumber daya yang dimiliki manusia akan
menciptakan permintaan akan produk dengan manfaat yang paling memuaskan.
Permintaan adalah keinginan manusia yang didukung oleh kemampuan daya beli
seseorang. Keinginan dapat berubah menjadi permintaan bilamana disertai dengan
daya beli. Konsumen memandang produk sebagai kumpulan manfaat dan memilih
produk yang memberikan kumpulan terbaik untuk uang yang mereka keluarkan.
Tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu permintaan apabila keinginan tersebut
tidak disertai dengan kemampuan untuk membeli suatu produk atau jasa tersebut.
Berdasarkan pandangan atas kebutuhan dan persyaratan apa yang dibutuhkan
untuk memenuhinya, akan berlanjut kepada kelangkaan relatif atas pemenuhan
kebutuhan dalam rangka pencapaian nilai yang lebih tinggi dan pencapaian suatu
tujuan tertentu. Dalam pandangan ekonomi konvensional “ilmu ekonomi
adalah studi tentang pemanfaatan sumber daya yang langka atau terbatas
(scarcity) untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas (unlimited)[23]”.
Secara umum, ilmu ekonomi adalah studi tentang pilihan atas berbagai
kebutuhan dan keinginan manusia yang dibatasi oleh sumber daya yang sifatnya
terbatas. Kelangkaan tidak dapat terelakkan dalam kehidupan manusia dan telah
menjadi pusat permasalahan ekonomi. Namun apakah sumber daya masyarakat itu?
Lalu kenapa kelangkaan tersebut terjadi? Kemudian konsekuensi apa yang didapat
dari terjadinya kelangkaan? Sumber daya terdiri atas sumber daya alami dan
sumber daya buatan. Dimana sumber daya alami terdiri atas sumber daya alam dan
sumber daya manusia. Sedangkan sumber daya buatan adalah modal dan pengusaha.
Para ahli ekonomi menamakan seluruh sumber daya ini sebagai faktor-faktor
produksi, sebab mereka ini digunakan untuk memproduksi barang-barang
yang dibutuhkan orang. Barang-barang yang dihasilkan atau diproduksi dinamakan komoditi.
Komoditi dapat dipisahkan menjadi barang dan jasa, dimana barang selalu berujud sedangkan jasa tidak berwujud.
Bagi sebagian besar umat manusia
yang hidup di dunia ini kelangkaan merupakan suatu hal yang nyata, sedangkan
sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas jumlahnya
tidak sebanding dengan besarnya permintaan. Walaupun suatu negara itu sudah
kaya atau makmur bukan berarti masalah kelangkaan sudah selesai. Namun tetap
saja dibutuhkan output yang lebih banyak lagi agar seluruh rumah tangga dapat
mengkonsumsinya. Karena keterbatasan sumber daya tersebut, maka setiap individu
menghadapi masalah pengambilan keputusan tentang apa yang harus diproduksi dan
bagaimana membagi produk tersebut di kalangan anggota masyarakat. Setiap
individu dalam masyarakat mempunyai preferensi yang berbeda dalam menentukan
pilihan tersebut. Keterbatasan dalam melakukan pilihan tersebut secara tidak
langsung menunjukkan akan timbulnya suatu biaya, hal ini dikenal dengan biaya
peluang (opportunity cost). Dimana
keputusan untuk memiliki sesuatu lebih banyak sama dengan keputusan untuk
memiliki hal lainnya lebih sedikit. Setiap kali
keterbatasan atau kelangkaan memaksa seseorang untuk menentukan pilihan, maka
dia sedang menghadapi masalah biaya peluang. Biaya ini diukur dengan satuan
alternatif yang dilepaskan. Karena ketika seseorang menentukan
pilihannya atas sesuatu hal, maka ia melepaskan kepuasan pilihannya atas suatu
hal yang lain.
Gambar 1.1.
menggambarkan kombinasi yang harus diambil atas dua pilihan barang X dan barang
Y. Hal ini terjadi karena keterbatasan
anggaran yang dimiliki oleh individu. Dalam contoh ini digambarkan biaya
peluang (opportunity cost) adalah
konstan, sehingga garis pembatas berbentuk lurus. Namun dalam dunia riel, biaya
peluang bisa saja tidak konstan. Selain itu ada lagi proses pemilihan yang
dilakukan oleh produsen ketika memutuskan akan memutuskan untuk memproduksi
suatu barang. Gambar 1.1. memperlihatkan bahwa apabila seorang individu memilih
titik A, maka individu tersebut telah memilih seluruh komoditi Y dan melepaskan
keinginannya atas komoditi X, begitu pula sebaliknya apabila memilih titik C.
Sementara titik B adalah individu mencoba mengkombinasikan konsumsinya antara
komoditi X dan komoditi Y.
Karena
sumber daya terbatas, pilihan untuk memproduksi suatu barang lebih banyak akan
menurunkan produksi barang lain. Sehingga proses produksi yang bisa dicapai
adalah kombinasi berdasarkan sumber daya yang tersedia. Hal ini bisa
digambarkan dalam suatu kurva yang dinamakan batas kemungkinan produksi (production possibility frontier).
Kemiringan (slope) kurva ini turun ke
kanan bawah. Dari gambar 1.2. terlihat bahwa titik a dan titik d merupakan
kombinasi yang tidak bisa dicapai, karena sumber daya yang dimiliki tidak
mencukupi untuk memproduksi sebanyak itu. Sementara titik c merupakan titik
yang tidak optimal, karena ada sumber daya yang tidak terpakai
Batas kemungkinan produksi mengungkapkan tiga konsep
yaitu keterbatasan/kelangkaan (scarcity), pilihan (choice) dan biaya peluang
(opportunity cost). Keterbatasan ditunjukkan oleh kombinasi-kombinasi yang
tidak bisa dicapai di atas batas garis; pilihan ditunjukkan oleh kebutuhan
untuk memilih dari sekian titik-titik alternatif yang bisa dicapai sepanjang
batas; biaya peluang diperlihatkan oleh kemiringan batas tersebut ke kanan
bawah.
Sehingga
dari permasalahan utama mendasar, setiap masyarakat menghadapi dan harus
memecahkan tiga permasalahan pokok ekonomi[24]:
a.
Apa yang harus diproduksi dan dalam jumlah berapa barang tersebut
diproduksi (WHAT)
b.
Bagaimana sumber-sumber ekonomi
(faktor-faktor produksi) yang tersedia harus dipergunakan untuk memproduksi
barang-barang tersebut secara optimal (HOW)
c.
Untuk siapa barang-barang tersebut
diproduksikan; atau bagaimana barang-barang tersebut dibagikan diantara warga
masyarakat (FOR WHOM)
Masyarakat memecahkan ketiga permasalahan ekonomi pokok
tersebut dengan berbagai cara mulai dari kebiasaan, tradisi, insting, komando
(paksaan) sampai kepada mekanisme harga di pasar. Dalam dunia ekonomi modern
saat ini untuk memecahkan permasalahan di atas adalah dengan menyerahkannya
kepada mekanisme harga di pasar. Gerak harga (mekanisme harga) dari setiap
barang dan faktor produksi bisa memecahkan ketiga masalah ekonomi pokok dari
masyarakat dengan jalan:
a.
Bila masyarakat menghendaki lebih banyak
akan sesuatu barang, maka harga barang tersebut akan naik. Sehingga penjual
memperoleh keuntungan yang lebih besar, selanjutnya produsen akan memperbesar
kapasitas produksinya atas produk tersebut, akibat peningkatan kapasitas
produksi maka total barang akan
bertambah. Barang akan semakin ditingkatkan produksinya sampai dengan batas
maksimal yang dapat diproduksi, sampai dengan batas maksimal dimana penawaran
lebih tinggi dari permintaan, maka harga barang tersebut akan menurun dan
akhirnya produsen akan menurunkan kapasitas produksinya. Proses sebaliknya akan
terjadi bila harga turun. Jadi gerak harga-harga barang menentukan apa dan
berapa setiap barang akan tersedia (diproduksikan) di dalam masyarakat.
(Masalah What);
b.
Barang dihasilkan dari proses
pengkombinasian faktor-faktor produksi oleh produsen, dimana faktor-faktor
produksi ini merupakan kombinasi paling efisien dan efektif bagi perusahaan
dalam proses produksinya. Bila harga sesuatu faktor produksi naik, maka
produsen akan berusaha mengadakan penghematan penggunaan faktor tersebut dan
menggunakan lebih banyak faktor-faktor produksi yang lain untuk proses
produksinya, dan berusaha mencari barang subtitusi yang paling efisien dalam
produksinya. Sehingga produsen akan selalu mencari kombinasi faktor produksi
yang paling efisien dalam proses produksinya.
Gerak harga faktor produksi menentukan kombinasi optimal yang digunakan
produsen dalam proses produksinya. (Masalah How);
c.
Barang-barang hasil produksi dijual baik
oleh produsen maupun konsumen. Konsumen membayar harga barang-barang hasil
produksi oleh produsen tersebut dari penghasilan yang diterimanya, dimana
penghasilan yang didapat oleh konsumen tersebut bersumber dari penjualan jasa-jasa
atas faktor produksi yang dimilikinya kepada produsen berupa upah dari tenaga
yang mereka keluarkan kepada produsen. Pola distribusi penghasilan antar warga
masyarakat tidak hanya ditentukan oleh harga faktor-faktor produksi saja tetapi
juga oleh pola kepemilikan. Semakin terpusat suatu kepemilikan, maka akan
semakin terpusat pula distribusi barang-barang di masyarakat. Gerak harga
barang dan faktor produksi menentukan distribusi barang-barang yang dihasilkan
di dalam masyarakat antara warga masyarakat. (Masalah For Whom).
Meskipun
dalam mekanisme harga yang dalam bahasa ekonomi dipengaruhi oleh “invisible
hand” tidak semuanya bisa dipecahkan oleh mekanisme harga di pasar. Sebab
ada bagian yang secara umum mekanisme harga tidak memecahkan masalah dengan baik,
karena menyangkut kepentingan umat yang lebih besar[25]:
a.
Distribusi pendapatan
Mekanisme
harga tidak selalu bisa menjamin dipecahkannya masalah “For Whom” secara adil,
sebab ada pihak yang semakin dirugikan dan diinjak-injak oleh pihak lain. Hal
ini terkait dengan pola kepemilikan yang terjadi di masyarakat, dimana terjadi
kesenjangan pendapatan di masyarakat yang memerlukan suatu mekanisme agar
tercipta suatu keadilan, dan hal ini kurang dapat dilakukan oleh mekanisme
harga. Apabila hal ini sepenuhnya dilepas menurut mekanisme harga yang terjadi
maka akan dapat menyebabkan pemusatan kekayaan kepada segelintir kelompok
tertentu yang memiliki akses modal lebih besar dan merugikan kelompok
masyarakat yang lemah yang kurang memiliki akses modal. Sehingga tugas negara
adalah untuk memastikan untuk tidak terjadinya kesenjangan pendapatan di
masyarakat.
b.
Ketidaksempurnaan pasar
Hal ini
apabila terjadi suatu perbedaan yang tajam dalam hal kekuasaan ekonomi antara
pihak-pihak yang bertransaksi di pasar, maka harga yang terjadi di pasar tidak
menggambarkan keadaan masyarakat sebenarnya. Struktur pasar pesaingan sempurna
sangatlah sulit untuk ditemukan dalam kehidupan nyata, karenanya mekanisme
harga yang sepenuhnya diserahkan kepada sistem pasar akan mengerucut kepada
terjadinya ketidaksempurnaan pasar, karena struktur pasar yang paling banyak
adalah struktur oligopoli. Sehingga dalam hal ini masalah “What” dan “How” tidak terpecahkan dengan baik.
c.
Barang-barang publik
Dalam
kehidupan ini ada barang-barang yang hanya bisa disediakan secara kolektif oleh
masyarakat maupun pemerintah (contoh: keamanan, , infrastruktur jalan, sarana
publik, taman kota, dan sebagainya). Dimana tidak terdapatnya harga pasar bagi
barang-barang publik ini, barang-barang publik ini tidak dapat disediakan oleh
swasta karena secara ekonomi tidak menguntungkan. Hal ini menyebabkan
barang-barang publik harus disediakan oleh negara demi kesejahteraan
masyarakat. Sehingga terlihat sekali lagi bahwa masalah “What” untuk
barang-barang publik ini tidak bisa dipecahkan dengan baik oleh mekanisme
harga.
d.
Eksternalitas
Dalam mekanisme pasar tidak bisa atau kurang memperhitungkan dampak-dampak
yang ditimbulkan secara tidak langsung dari kegiatan ekonomi baik itu
eksternalitas positif –yaitu dampak pembangunan yang memberikan hasil positif
terhadap masyarakat- (contoh: pembangunan jalan membuat suatu daerah menjadi
terbuka dari aktivitas dan kegiatan perekonomian dan berakibat pada semakin
majunya perekonomian yang terdapat di suatu daerah) maupun eksternalitas
negatif –yaitu pembangunan yang berdampak negatif terhadap masyarakat- (contoh:
polusi udara yang ditimbulkan oleh pabrik atau polusi debu yang ditimbulkan
akibat pembangunan suatu jalan tol mengakibatkan terjangkitnya penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di masyarakat).
e.
Makro ekonomi
Mekanisme harga pun seringkali tidak bisa diandalkan secara penuh untuk
menstabilkan gejolak (fluktuasi) naik turunnya kegiatan ekonomi secara total
(nasional atau makro), dalam hal ini intervensi pemerintah masih sangat
diperlukan. Penyesuaian dalam aktivitas makro ekonomi tidak dapat dilakukan
oleh mekanisme harga melainkan harus diselesaikan oleh bidang ilmu ekonomi
publik dan ekonomi politik. Sebab apabila mengandalkan sepenuhnya kepada
mekanisme harga, banyak permasalahan makroekonomi yang perlu diselesaikan
secara lebih bijaksana dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek.
Dalam kelima bidang ini, mekanisme harga tidak bisa diharapkan
menyelesaikan permasalahan ekonomi secara otomatis dan baik, sehingga masih
dibutuhkan tindakan-tindakan dan kebijakan yang harus dirumuskan dan dijalankan
secara sadar, terstruktur dan sistematis oleh negara dalam bentuk suatu
perencanaan pembangunan. Dalam praktik mekanisme harga dan perencanaan
digunakan secara bersama-sama. Tidaklah ada suatu negara yang murni menerapkan
mekanisme harga secara total dan tidak ada suatu negara pun yang murni
menerapkan perencanaan secara total. Suatu hal yang mustahil apabila mekanisme
harga dan perencanaan menjadi suatu bagian terpisahkan, sebab hal ini akan
menjadikan perekonomian suatu negara menjadi terpuruk.
Ekonomi
konvensional mempunyai paradigma yang berbeda dengan ekonomi Islam. Karena
ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler dan sama sekali
tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor Tuhan) didalamnya. Sehingga ekonomi
konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas nilai (positivistik). Sementara ekonomi Islam dibangun di atas
prinsip-prinsip syariah. Dalam tataran ini, ekonom muslim tidak berbeda
pendapat. Namun ketika diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep
ekonomi Islam itu mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran
para ekonom muslim kontemporer terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para
ekonom muslim ini dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran
mereka telah tersusun secara sistematis. Tiga mazhab[26]
tersebut adalah:
¨
Mazhab Iqtishaduna
¨
Mazhab Mainstream
¨
Mazhab Alternatif-kritis
1.
Mazhab Iqtishaduna
Mazhab
ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”. Dimana mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa berjalan seirama
dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah tetap Islam.
Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian dan
filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi
Islam (Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada
perbedaan cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi
termasuk pula dalam alat analisis yang dipergunakan.
Menurut
ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak
terbatas sementara sumber daya yang tersedia terbatas, dimana faktor utama
permasalahan ekonomi adalah masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan
ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang
terbatas. Dalil yang mereka pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka
adalah Al Qur’an Surat Al Qamar ayat 49
“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu
dalam ukuran yang setepat-tepatnya”.
Dengan demikian segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, sebenarnya
Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Kemudian
mereka mengajukan sanggahan atas keinginan manusia yang tidak terbatas, menurut
mereka keinginan manusia pun bersifat terbatas. Sebagai contoh: manusia akan
berhenti makan bila sudah kenyang. Sehingga ditarik suatu kesimpulan bahwa
keinginan manusia yang tidak terbatas itu adalah salah, sebab kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa keinginan manusia terbatas.
Mazhab ini berpendapat bahwa permasalahan dalam ekonomi
muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat
sistem ekonomi yang membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak
yang lemah oleh sekelompok pihak yang lebih kuat, dimana pihak yang kuat akan
mampu menguasai sumber daya yang ada sementara di pihak lain pihak yang lemah
sama sekali tidak mempunyai akses terhadap sumber daya tersebut. Sehingga
masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas. Manusia secara fitrahnya merupakan
makhluk yang tidak pernah merasa puas atas apa yang telah dimilikinya. Mereka
akan selalu berusaha mewujudkan setiap yang diinginkan.
Oleh
karena itu istilah ekonomi Islam menurut mazhab ini adalah suatu istilah yang
tidak tepat dan menyesatkan, sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan
atau dihilangkan. Sebagai gantinya untuk menjelaskan mengenai sistem ekonomi
dengan prinsip Islam ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari filosofi
Islam yaitu iqtishad. Iqtishad
menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad berasal
dari bahasa Arab qasd yang secara
harfiah berarti equlibrium atau keadaan sama, seimbang atau pertengahan. Oleh
karenanya, semua teori ekonomi konvensional ditolak dan dibuang dan diganti
oleh teori-teori baru yang disusun berdasarkan nash-nash Al Qur’an dan Sunnah.
2.
Mazhab
Mainstream
Mazhab
kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab kedua atau yang lebih
dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul
karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang
tidak terbatas. Dalil yang dipakai oleh mazhab ini adalah Al Qur’an surat Al
Baqarah ayat 155
“Dan sungguh akan kami uji
kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”.
Sedangkan keinginan manusia yang
tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah dan bersifat sunatullah serta
merupakan fitrah manusia. Dalilnya adalah surat At Takaatsur ayat 1-5
“Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui (akibat perbuatanmu)”.
Perbedaan
mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah
ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah
kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Dalam ekonomi
konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan
selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma
serta nilai agama ataukah tidak. Dengan kata lain pilihan dilakukan berdasarkan
tuntutan nafsu semata (Homo economicus). Sedangkan
dalam ekonomi Islam penentuan pilihan tidak bisa tanpa aturan, sebab semua
sendi kehidupan kita telah diatur oleh Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga kita
sebagai manusia ekonomi Islam (Homo
Islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada.
Tokoh-tokoh mazhab antara lain
adalah Umer Chapra, Metwally, M A Mannan, M N Siddiqi, dll. Mayoritas mereka
adalah para pakar ekonomi yang belajar serta mengajar di
universitas-universitas barat, dan sebagian besar di antara mereka adalah
ekonom Islamic Development Bank (IDB). Sehingga mazhab ini tidak pernah
membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Yang
bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu
proses transformasi keilmuan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip
syariah Islam. Sebab keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada
dasarnya merupakan pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan
muslim pada era dark ages, sehingga bukan tak mungkin ilmu yang
berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan
pengembangan dari pemikiran ilmuwan muslim terdahulu.
3.
Mazhab
Alternatif –kritis
Mazhab
ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dll. Mazhab ini
mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama dikritik sebagai mazhab yang
berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang pada hakikat aslinya sudah
ditemukan oleh orang lain. Mereka menghancurkan teori lama, untuk kemudian
menggantinya dengan teori baru yang notabenenya sebagian telah ditemukan. Sedangkan
mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi konvensional dengan
menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat. Mazhab ketiga ini merupakan mazhab yang kritis, mereka
berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap ekonomi
konvensional yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri.
Sebab ekonomi Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Al Qur’an dan Sunnah,
dimana tafsiran ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran
berbeda atasnya. Setiap teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu
diuji kebenarannya agar ekonomi Islam dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di dunia ini.
D.
Rancang Bangun Ekonomi Islam
Dalam pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, kita harus
mengetahui terlebih dahulu mengenai rancang bangun ekonomi Islam[27],
dengan mengetahui rancang bangun ekonomi Islam kita dapat memperoleh suatu
gambaran utuh dan menyeluruh secara singkat tentang ekonomi Islam. Dimana
terdiri atas atap, tiang dan landasan. Diharapkan nantinya dengan mengetahui
rancang bangun ini, dapat memahami lebih lanjut mengenai apa ekonomi Islam itu
sendiri. Landasan terdiri atas aqidah
(tauhid), adil, nubuwwa, khilafah dan ma’ad.
Aqidah (tauhid)
merupakan konsep Ketuhanan umat Islam terhadap Allah SWT. Dimana dalam
pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontologi tauhid, dan hal ini menjadi
prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci keimanan seseorang adalah dilihat dari
tauhid yang dipegangnya, sehingga rukun Islam yang pertama adalah syahadat yang
memperlihatkan betapa pentingnya tauhid dalam setiap insan beriman. Oleh
karenanya setiap perilaku ekonomi manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip
yang sesuai dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Karenanya setiap
tindakan atau perilaku yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab hal
tersebut akan dapat menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia baik
bagi individu itu sendiri maupun bagi orang lain. Sehingga hal ini akan
memunculkan tiga asas pokok yang dipegang oleh setiap individu muslim:
1.
Dunia dengan segala isinya adalah milik
Allah dan berjalan menurut kehendak-Nya. Sehingga pemilik mutlak atas harta
yang kita miliki hanya Allah semata, dan kita hanya sebagai pemegang amanah
atas harta tersebut yang harus mengelola dengan sebaik-baiknya.
2.
Allah adalah pencipta semua makhluk dan
semua makhluk tunduk kepada-Nya. Hal ini akan memunculkan sikap rendah hati
dari manusia, bahwa kita tidak layak sombong atas yang dimiliki sebab manusia
hanyalah makhluk ciptaan Allah semata.
3.
Iman kepada hari kiamat akan
mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Setiap
individu muslim akan selalu memiliki dua horizon waktu dalam bertindak, yaitu
horizon waktu hidup di dunia dan horizon waktu hidup di akhirat.
Adil disini
mengandung makna bahwa dalam setiap aktivitas ekonomi yang dijalankan agar tidak
terjadi suatu tindakan yang dapat mendholimi orang lain. Konsep adil ini
mempunyai dua konteks yaitu konteks individual dan konteks sosial. Menurut
konteks individual, janganlah dalam akitivitas perekonomiannya ia sampai
menyakiti diri sendiri. Sedang dalam konteks sosial, dituntut jangan sampai
merugikan orang lain. Oleh karenanya harus terjadi keseimbangan antara individu
dan sosial. Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan
oleh insan beriman haruslah adil, agar tidak ada pihak yang tertindas. Karakter
pokok dari nilai keadilan bahwa masyarakat ekonomi haruslah memiliki sifat
makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran menurut syariat Islam.
Berkaitan dengan masalah perilaku ekonomi umat manusia, maka keadilan
mengandung maksud:
1.
Keadilan berarti kebebasan yang
bersyarat akhlak Islam, keadilan yang tidak terbatas hanya akan mengakibatkan
ketidakserasian di antara pertumbuhan produksi dengan hak-hak istimewa bagi
segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan melimpah dan mempertajam
pertentangan antara yang kuat dan akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial
kemasyarakatan.
2.
Keadilan harus ditetapkan di semua fase
kegiatan ekonomi. Keadilan dalam
produksi dan konsumsi ialah paduan efisiensi dan memberantas pemborosan. Adalah
suatu kezaliman dan penindasan apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap
hartanya sendiri yang melampaui batas yang ditetapkan dan bahkan sampai merampas
hak orang lain.
Mungkin beberapa orang menganggap bahwa tuntunan dalam ekonomi Islam ini
hanya bisa dijalankan oleh Nabi. Anggapan ini keliru, sebab ilmu yang diajarkan
oleh Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad saw pasti benar adanya. Dengan
konsep nubuwwa ini, kita dituntut
untuk percaya dan yakin bahwa ilmu Allah itu benar adanya dan akan membawa
keselamatan dunia dan akhirat. Serta dapat dijalankan oleh seluruh umat manusia
dan bukan hanya oleh Nabi saja. Sebab ajaran Nabi Muhammad saw adalah suatu
ajaran yang memiliki nilai-nilai universal di dalamnya. Sehingga
prinsip-prinsip yang terkandung dalam ekonomi Islam merupakan prinsip-prinsip
ekonomi universal yang dapat diterapkan oleh seluruh umat, baik oleh umat Islam
maupun umat selain Islam. Sifat-sifat keteladanan Rasulullah seperti shidiq,
amanah, tabligh dan fathonah mampu dilaksanakan oleh umatnya meskipun tidak
akan sesempurna seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah. Namun hal ini
membuktikan bahwa ekonomi Islam pun mampu dilaksanakan oleh setiap individu.
Khilafah atau berarti pemimpin, membawa implikasi bahwa pemimpin umat dalam hal ini
bisa berarti pemerintah adalah suatu yang kecil namun memegang peranan penting
dalam tata kehidupan bermasyarakat. Islam menyuruh kita untuk mematuhi pemimpin
selama masih dalam koridor ajaran Islam. Ini berarti negara memegang peranan
penting dalam dalam mengatur segenap aktivitas dalam perekonomian. Hal ini
menunjukkan bahwa regulasi dan aturan tersebut tetap dibutuhkan, namun selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan kata lain, peran negara
adalah berupaya menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah terjadinya hal-hal
yang diharamkan.
Ma’ad atau return, ini berarti dalam Islam pun membolehkan mengambil
keuntungan dalam melakukan aktivitas perekonomian. Oleh karenanya salah besar
yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak boleh mengambil keuntungan. Keuntungan
merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam suatu aktivitas ekonomi. Namun yang
dilarang dalam Islam adalah mengambil keuntungan yang berlebihan apalagi sampai
merugikan orang banyak, misal dengan melakukan penimbunan –untuk menciptakan
kelangkaan barang- untuk mendapat harga yang berlipat ganda.
Setelah
membahas landasannya, sekarang kita membahas mengenai tiang dari ekonomi Islam,
yang terdiri atas multitype ownership
(kepemilikan multi jenis), freedom to act
(kebebasan berusaha), dan social justice
(kesejahteraan sosial).
Multitype ownership, Islam
mengakui jenis-jenis kepemilikan yang beragam. Dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan
yang diakui hanyalah kepemilikan individu semata yang bebas tanpa batasan.
Sedangkan dalam ekonomi sosialis, hanya diakui kepemilikan bersama atau
kepemilikan oleh negara, dimana kepemilikan individu tidak diakui dan setiap
orang mendapatkan imbal jasa yang sama rata. Dalam Islam kedua-dua kepemilikan
diakui berdasarkan batasan-batasan yang sesuai dengan ajaran Islam. Oleh
karenanya Islam mengakui adanya kepemilikan yang bersifat individu, namun tetap
ada batasan-batasan syariat yang tidak boleh dilanggar –seperti akumulasi modal
yang hanya menumpuk di sekelompok golongan semata-. Kepemilikan individu dalam
Islam sangat dijunjung tinggi, akan tetapi tetap ada batasan yang membatasi agar
tidak ada pihak lain yang dirugikan karena kepemilikan individu tersebut.
Pemilikan dalam ekonomi Islam adalah:
1.
Pemilikan terletak pada kemanfaatannya
dan bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
2.
Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup
manusia di dunia, dan bila orang tersebut meninggal harus didistribusikan
kepada ahli warisnya menurut ketentuan Islam
3.
Pemilikan perorangan tidak dibolehkan
terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi
hajat hidup orang banyak, sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara.
Economic Freedom, dalam
ekonomi Islam setiap manusia bebas melakukan aktivitas ekonomi apa saja, selama
aktivitas ekonomi yang dilakukan bukan aktivitas ekonomi yang dilarang dalam
kerangka yang Islami. Hal ini berbeda dengan ekonomi kapitalis yang tidak
terdapat pembatasan dalam kebebasan beraktivitas, sehingga terjadi kebebasan
yang terlalu berlebihan bahkan menyebabkan tertindasnya pihak lain, dalam
ekonomi kapitalis berlaku hukum rimba dimana yang terkuatlah yang dapat
menguasai semuanya termasuk sumber daya modal dan alam. Hal ini berakibat
teraniayanya hak orang lain diakibatkan kebebasan tanpa batasan. Dan tidak juga
seperti ekonomi sosialis yang terlalu membatasi kebebasan beraktivitas
seseorang, sehingga cenderung menghilangkan kreativitas dan produktivitas umat. Pembatasan yang terlalu berlebihan terhadap
aktivitas ekonomi menyebabkan stagnasi dalam produktivitas.
Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah charitable -bukan karena kebaikan hati
kita-. Dalam Islam, walaupun harta yang kita dapat berasal dari usaha sendiri
secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di dalamnya. Sebab kita tidak
mungkin mendapatkan semuanya tanpa bantuan orang lain baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karenanya Islam mewajibkan zakat dan voluntary
sector (infak, sadaqah, wakaf, dan hibah) agar terjadi pemerataan dalam
distribusi pendapatan. Namun pemerataan disini bukan berarti sama rata, sama
rasa, melainkan yang sesuai dengan bagiannya. Instrumen zakat adalah salah satu
instrumen pemerataan yang pertama dibandingkan dengan suatu sistem jaminan
sosial di Barat. Selain itu kerjasama (cooperative)
merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islami versus kompetisi bebas dari
masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme.
Kerjasama ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi,
produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam
ekonomi Islam adalah qirad. Qirad adalah kerjasama antara pemilik
modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga
dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Yang
terakhir adalah atap dari rancang bangun ekonomi Islam itu sendiri yaitu akhlak
yang menjadi perilaku Islami dalam perekonomian. Atau bisa juga dalam kaitannya
dengan ekonomi bisa diartikan sebagai suatu etika yang harus ada dalam setiap
aktivitas ekonomi. Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup untuk
membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun harus dilengkapi dengan akhlak.
Dengan akhlak ini, manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan sampai
merugikan orang lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah. Akhlak yang mulia
mampu menuntun umat dalam aktivitas ekonominya tidak merugikan pihak lain,
misalnya dengan tidak melakukan gharar, maysir, dan riba.
Sebab teori yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuia dengan syariah sama
sekali bukan jaminan secara otomatis akan memajukan perekonomian umat. Sistem
ekonomi Islami hanya memastikan tidak adanya transaksi yang bertentangan dengan
syariat. Kinerja ekonomi sangat tergantung pada siapa yang ada di belakangnya.
Baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses dan gagalnya
bisnis yang dijalankan. Dengan melihat pengertian di atas dapat kita tarik
beberapa pengertian yaitu: Pertama,
Ekonomi Islam sebagai ilmu adalah merupakan landasan dari rancang bangun ini. Kedua, Ekonomi Islam sebagai suatu
sistem atau Sistem Ekonomi Islam adalah yang menjadi tiang dari rancang bangun.
Dan Ketiga, Ekonomi Islam sebagai
suatu perekonomian atau Perekonomian Islam adalah yang kita sebut sebagai
atapnya.
E.
Metodologi Ekonomi Islam
Setiap sistem
ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya,
di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya di lain pihak.
Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan
untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem
tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu
komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi
untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk
kepentingan konsumsi. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi
internalnya, kesesuainnya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek
kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh.
Suatu sistem
untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan
Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu
seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya
dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun
demikian perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam
dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai
ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini, namun pembahasan
yang ada tentang ekonomi Islam masih terbatas pada latar belakang hukumnya saja
atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian
mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai sistem
ekonomi.
Selain itu,
suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari fiqih Islam yang membahas
hukum dagang (fiqh muamalah) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama
menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut
belakangan, sedangkan yang disebut kemudian mengkaji proses dan penanggulangan
kegiatan manusia yng berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam
masyarakat muslim. Tidak adanya pembedaan antara fiqh muamalah dan ekonomi
Islam merupakan salah satu kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi
Islam, sehingga seringkali suatu teori ekonomi berubah menjadi pernyataan
kembali mengenai hukum Islam. Hal lain yang tidak menguntungkan dalam
pembahasan ekonomi Islam dengan fiqh muamalah adalah menyebabkan
terpecah-pecahnya dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori
ekonomi.
Kajian tentang
sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah laboratorium umat
manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial perlu kembali kepada sejarah
agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan
jangka jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek
utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit
ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi. Kajian
tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu
menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer di satu pihak dan
di pihak lain akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini.
Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih
luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.
Namun terdapat
dua bahaya dalam mengkaji tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam, yaitu pertama,
bahaya terlalu kaku dan taqlid antara teori dan aplikasinya, dimana terlalu
kaku menggunakan patokan berdasarkan aplikasi yang terdapat pada masa terdahulu
dan kurang melakukan inovasi dan pengembangan teori yang didasarkan pada
Al-Qur'an dan Sunnah serta kurang aplikatifnya teori berdasarkan situasi dan
kondisi yang berbeda. Kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya
kedua ini muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik
itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan
para ekonom Islam untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung,
yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat
historik dan tidak bersifat ideologik. Literatur Islam yang ada sekarang
mengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode, yaitu metode deduksi dan
metode pemikiran retrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli
ekonomi Islam dan fuqaha. Metode pertama diaplikasikan terhadap ekonomi Islam
modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya
dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.
Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis muslim kontemporer yang merasakan
tekanan kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari
berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan
kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas
pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk
Tuhan.
F.
Hukum Ekonomi Islam
1.
Hakikat Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai
kecenderungan suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok
fenomena. Semua hukum ilmiah adalah hukum dalam arti yang sama. Tetapi,
hukum-hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat dan seakurat seperti dalam hukum
ilmu-ilmu pengetahuan alam (eksak). Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan
berikut: Pertama, ilmu ekonomi adalah
ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus
mengendalikan banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak
jumlahnya, tetapi data itu sendiri bisa berubah. Ketiga, banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi
tertentu.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman
dalam karyanya Principles of Economics,
“pada hakikatnya bersifat hipotetik”. Semua hukum ekonomi memuat isi anak
kalimat bersyarat sebagai berikut “hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)”, yakni anggapan bahwa
dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan
tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang
bersamaan. Hal ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan
eksperimen tanpa perlu membuat suatu asumsi. Ilmu ekonomi, tidak seperti
cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya, mempunyai pengukur bersama dari
motif-motif manusia dalam bentuk uang.
2.
Sumber Hukum Ekonomi Islam
Ada berbagai
metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis
besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih
menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam
disiplin ilmu ushl fiqh. Metode pengambilan hukum atas suatu
permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam metode, namun dalam buku ini hanya
akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh
ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits & sunnah, ijma, dan qiyas.
a.
Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli
adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang
disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat
manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian
Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
(baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi,
terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non
Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka
bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah
SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril.
Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi
mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk
menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat dari
jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual
semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum
tersebut. Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam
dengan sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sehingga dalam setiap penarikan dan
pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam
Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik
kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu
dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu
Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap
muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang
sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh
seluruh umat manusia.
b.
Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah yang
secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada
perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar
didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah
mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu
sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, pada
pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui,
dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai
sahabat-sahabatnya. Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan
sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya.
Hadits dan sunnah ini hadir sebagai
tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim
dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan
keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta
penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak
terdapat di Al-Qur’an. Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan tafsir, dimana sunnah menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih, sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat
dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai
tingkatan dari shahih, hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits
mempunyai tingkatan dari mutawatir dan ahad
c.
Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum ketiga
merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama.
Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa
sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada
sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma
adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas
setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling ampuh
dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini memiliki
kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits serta
sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di
bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah
disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang
seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil
pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali
salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran
yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
d.
Ijtihad dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan
setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan
syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin
benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada
proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis
dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y
(pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum
telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas.
Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli
teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual,
tetapi juga dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat
kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan
alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat
dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum,
perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang
baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.
G.
Kesimpulan
Ekonomi Islam dapat
didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas
ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka
mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan
harta). Pola
berpikir ekonomi konvensional yang tanpa nilai telah menyebabkan ilmu ekonomi
ini menjadi suatu ilmu yang digunakan
untuk memenuhi tuntutan nafsu manusia semata tanpa ada aturan yang jelas, serta
melegalkan terjadinya eksploitasi dalam kegiatan ekonomi yang terjadi. Kemudian
tampillah beberapa mazhab ekonomi konvensional baru untuk memasukkan
aspek-aspek normatif, sosial, dan institusional prilaku manusia dalam
model-model ekonominya. Namun semua ini mengalami masalah karena mereka sulit
untuk menemukan standar nilai yang dapat disepakati secara luas oleh seluruh
kalangan.
Para ekonom muslim perlu mengembangkan suatu ilmu yang
khas yang berlandaskan atas nilai-nilai iman dan Islam yang sejati. Rancang bangun ekonomi Islam terdiri atas dasar
(yang terdiri atas: tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, dan ma’ad),
tiang (terdiri atas multitype ownership, freedom to act, dan social
justice), dan terakhir adalah atapnya yaitu akhlak.
[1] Karl E Case dan Ray C Fair . Prinsip-prinsip Ekonomi Mikro.
Penerjemah Benyamin Molan (Jakarta: Pearson Education Asia), h. 8.
[2] Ibid., h. 8
[3]Mohamed Asalam Haneef, Contemporary
Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis, Kuala Lumpur: S.
Abdul Majeed & Co., 1995, h. 11
[4] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam:
Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, h. 149. Penulis buku ini
mengkompilasi dari sumber M.N. Siddiqi (1995), M. Aslam Haneef (1995),
Adiwarman Karim (2001)
[5]M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi
Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4
[6] Monzer Kahf, The Islamic Economy,
Plainfield: Muslim Student Association (US-Canada), 1978, h. 18.
[7]Monzer Kahf, The Islamic Economy:
Analytical Study of the Functioning od the Islamic Economic
System, (T.tt.: Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada,
1978), h. 16. Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005, h.275.
[8]M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic
Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001
[9]Hasanuzzaman, “Definition of Islamic
Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic Economics, Vol 1 No. 2,
1984.
[10]Muhammad N. Siddiqi, Muslim Economic
Thinking: A Survey of Contemporary Literature. Jeddah and The Islamic
Foundation, 1981.
[11]Syed Nawab Haider naqvi, Etika dan Ilmu
Ekonomi: Suatu Sintesis Islami,
Bandung : Mizan, 1985
[12] M. Abdul Mannan, Islamic Economics:
Theory and Practice., Delhi.Sh. M. Ashraf, 1970. Lihat juga M.A Mannan, The
Making of an Islamic Economic Society, Cairo, 1984.
[13]M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi
Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995
[14] ibid.
[15] Tim P3EI UII dan BI, Ekonomi Islam
(Jakarta: Rajagrafindo Pers, 2008), h. 32.
[16]Terhadap permasalahan ini antara lain
dibahas oleh M. A. Mannan , “The
Behaviour of Firm and Its Objectives in an Islamic Framework”, dalam Tahir,
Sayyed (at al, ed.) Readings in Microeconomics: an Islamic Perspective
(Malyasia: Longman,1992). dan Metwally, Essays
on Islamic Economics (Kalkuta: Academic Publishers, 1993). Lihat Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam,
Edisi Pertama (Jakarta: PT Bangkit Insani, 1997). LIhat juga M. Umar Chapra, The
Future of Economics; an Islamic Perspectif (Leicester UK: Islamic
Foundation, 2001).
[17] Ketika prilaku rasional ekonomi diartikan
sebagai upaya untuk mewujudkan materi semata, maka perilaku etis dipandang
sebagai perilaku yang tidak rasional dan karenanya dikeluarkan dari pokok
bahasan ilmu ekonomi.Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi pelaku ekonomi
yang rasional Islami berdasarkan maslahah. Oleh karena itu, standar
moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan bukan semata-mata
didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan sosial. Moralitas
Islam ini tidak diposisikan sebagai suatu batasan ilmu ekonomi, justru sebagai
pilar atau patokan dalam menyusun ekonomi Islam.
[18] Murasa Sarkaniputra, Ruqyah
Syar’iyyah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi, Jakarta: al Ishlah Press
& STEI, 2009, h. 112-113.
[19] Mausudul Alam Choudury, Contributions
to Islamic Economic Theory, New York : St Martin’s Press, 1988, 59-61.
[20]M. A. Mannan, Op. Cit.
[21]Monzer Kahf, Ekonomi Islam : Telaah
Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995.
[22]M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan
Ekonomi, terjemahan Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
[23] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi,Cet. 18 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 5.
[24] Boediono. Ekonomi Mikro Cet. 18 (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1996), h. 7
[25] Ibid, h. 14
[26] Adiwarman A Karim. Ekonomi Mikro Islami. IIT-Indonesia. 2002, hal. 13
[27] Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami. IIT-Indonesia, 2002, hal. 17